OLEH: WIDI GARIBALDI
Robert Klitgaard, seorang konsultan berkebangsaan Belanda, yang sering diundang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberantas korupsi, memperkenalkan suatu resep untuk memberantas penyakit yang sangat berbahaya itu. Menurut Klitgaard, musuh negara itu akan sirna manakala kita semua dengan penuh kesadaran menghindari C=M + D – A. Tindak pidana korupsi bakal terjadi manakala pemegang kekuasaan menggunakan wewenangnya tanpa tanggung jawab. (C)orruption = (M)onopoly power + (D)iscreation by Officers – (A)ccountability.
Jadi, setiap pejabat harus memahami benar bahwa kekuasaan yang mereka miliki manakala digunakan tanpa tanggung jawab pasti akan melahirkan korupsi.
Mengacu kepada rumus Klitgaard itu, dapat dipastikan bahwa korupsi yang merajalela di suatu negara,seperti Indonesia, disebabkan karena para Pejabat dan Penyelenggara Negaranya menggunakan kewenangan tanpa tanggung jawab.
Akibatnya, berdasarkan data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) tahun yang lalu, kita memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari skor sebelumnya. Artinya, merupakan skor terendah yang berhasil dicapai negeri ini sejak tahun 2015.
Mengapa RI sampai demikian terpuruk, karena walaupun telah 78 tahun lamanya kemerdekaan dikumandangkan, ternyata pemberantasan korupsi masih saja dilakukan setengah hati. Implementasi peraturan perundang-undangan yang lemah, semakin tak bertaji akibat law enforcement yang lemah pula. Sampai di sini, rumus Klitgaard itu ternyata tak pernah dipedomani, hanya menjadi bunga rampai retorika pejabat belaka.
Pagar makaan tanaman
Seperti dikemukakan oleh seorang guru besar hukum bernama B.M.Taverne, peraturan perundang-undangan yang baik tidak ada artinya apabila penegak hukum tidak menegakkannya dengan benar, apalagi kalau menggerogotinya. Apabila hal tersebut terjadi, pagar bukan berfungsi menjaga tanaman, tetapi sebaliknya, mengganyang sehingga memusnahkan tanaman itu. Apa yang ditakuti oleh Taverne itu, sedang kita hadapi dewasa ini.
Fakta menunjukkan bahwa para Penegak Hukum, mulai dari Polisi,Jaksa, Hakim hingga Advokat terbukti telah mengotori lembaganya sendiri, dengan melakukan perbuatan tercela yakni korupsi. Sebut misalnya jaksa Urip Tri Gunawan yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Meja Hijau karena terbukti menerima suap Rp6,6 miliar dari pengusaha bernama Artalyta Suryani. Hakim Herman Allositandi dan Panitera Adrian Lumanauw harus merasakan betapa getirnya menjadi pesakitan karena terbukti memeras saksi korupsi Jamsostek. Jangan pula dilupakan apa yang dilakukan oleh advokat Tengku Syaifuddin Popon dan Harini Wijoso.
Lembaga tertinggi di bidang pengadilan sendiri yakni Mahkamah Agung, ternyata tak luput dari perbuatan-perbuatan durjana itu.Nurhadi, mantan Sekretaris MA terpaksa meringkuk di balik jeruji Lapas Sukamiskin. Perbuatannya yang memperdagangkan perkara di Mahkamah Agung yang dikenal sebagai “benteng terakhir keadilan” itu benar-benar telah mempermalukan upaya penegakan hukum di negara yang dikenal sebagai Negara Hukum ini. Penggantinya, HH ternyata mengulangi lagi perbuatan terkutuk itu. Perkaranya yang sedang berproses di KPK dialami juga oleh para Hakim hingga Hakim Agung.Sudrajad Dimyati tercatat sebagai Hakim Agung pertama yang “tak tahu diri”, tega mempermalukan corpsnya. Ternyata apa yang dilakukannya, ditiru oleh rekannya, GS.
Terakhir, apa yang dilakukan oleh mantan Ketua KPK Firli Bahuri, diterima oleh masyarakat ibarat “halilintar di siang hari bolong”. Soalnya ia diberi kepercayaan untuk mengetuai suatu lembaga klhusus untuk memberantas korupsi yang dikenal sebagai super body karena korupsi itu sendiri telah menjelma menjadi extra ordinary crime. Tetapi,lacur. Ia sendiri dituduh melakukan korupsi.
Sungguh, korupsi di negeri ini sudah menggurita. Untuk memberantasnya bukan pekerjaan mudah. Pasti tak akan rampung dalam hitungan tahun. Dibutuhkan tekad yang sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa. Dari pemerintah dibutuhkan tidak hanya political will tetapi sekaligus juga harus political action. Pemberantasannya harus dilakukan dari atas hingga ke bawah. Bukan sebaliknya. Memang, tidak mungkin membersihkan rumah dengan menggunakan sapu yang kotor**