Oleh. Widi Garibaldi

Lebih dari seabad yang lalu, Hooge Raad (Mahkamah Agung) Belanda mengeluarkan putusan teramat penting sehingga dijuluki sebagai “Revolusi di bulan Januari”. Putusan yang dikeluarkan pada tanggal 31 Januari 1919 itu kemudian dikenal sebagai “Cohen & Lindenbaum” arrest, mengakhiri perselisihan antara Cohen dan Lindenbaum, sama-sama pengusaha percetakan.

Pada suatu Ketika, Cohen membujuk pekerja Lindenbaum untuk membocorkan rahasia bosnya. Berbekal rahasia percetakan Lindenbaum yang sudah ditangannya, Cohen berhasil merenggut seluruh langganan perusahaan saingannya. Mengetahui rahasia perusahaannya dicuri pesaing, Lindenbaum langsung menggugat Cohen ke pengadilan Amsterdam. Singkat cerita, Mahkamah Agung Belanda tetap berpihak kepadanya, walaupun undang-undang tertulis Belanda tidak dengan jelas menentukan bahwa Cohen telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum. Kendati demikian Hooge Raad memutuskan bahwa Cohen tetap bersalah karena ia telah melakukan suatu perbuatan tercela, bertentangan dengan tata susila dan kepatutan masyarakat. Sejak putusan MA Belanda itu, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tidak lagi dimaknai sekedar melanggar undang-undang tertulis sebagaimana tercantum dalam pasal 1365 KUHPerdata kita.

Mengada-ada
Putusan Hooge Raad itu “jauh panggang dari api” manakala dibandingkan dengan putusan Mahkamah Agung yang hingga kini menjadi buah bibir masyarakat. Kalau putusan Hooge Raad itu di kalangan masyarakat hukum dikenal sebagai landmark decision, sehingga dijadikan acuan dan panduan bagi hakim lainnya ketika menghadapi perkara yang sama, maka putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2024 tentang yudicial review PKPU Pencalonan Pilkada yang diketok pada tanggal 29 Mei ybl menjadi cemoohan karena dianggap sebagai putusan “sontoloyo”. Mengapa putusan itu dijuluki sontoloyo (konyol) ? Sama halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membentangkan karpet merah untuk anak sulung Presiden Jokowi agar dapat menjadi Wakil Presiden kendati usianya belum mencukupi maka Mahkamah Agung RI ditengarai sengaja ditukangi agar mengeluarkan putusan yang memungkinkan anak Presiden lainnya yakni Kaesang dapat ikut Pilkada yang akan datang, antara lain pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Kecurigaan masyarakat itu cukup beralasan, karena amar putusan Mahkamah Agung itu dianggap sungguh mengada-ada. Disebutkan “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”. Usia sang calon tidak lagi dihitung sejak dia mencalonkan diri tetapi sejak dia dilantik.Nah, usia Kaesang, sang penerus dinasti, sudah akan mencapai 30 tahun, seandainya ia dilantik karena memenangi kontestasi. Rupanya apa yang disinyalir oleh seorang pakar hukum yang menurunkan tulisannya dalam sebuah media cetak baru-baru ini,cukup beralasan. Keadaan hukum kita sudah sangat parah. Tidak hanya di bidang law enforcement, tetapi juga dalam hal pembentukan, pelaksanaan dan pengawasan hukum.

Dalam hal pembentukan hukum, wakil-wakil kita di Senayan tak lebih sebagai “pemukul gong” kehendak Penguasa. Selain itu, Mahkamah yang kita miliki yang dikenal sebagai Lembaga Tinggi Negara yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, ternyata produknya dapat ditukangi oleh Penguasa dengan cara “lempar batu sembunyi tangan”.

Adalah sulit untuk mengetahui “tangan” siapa yang telah melempar batu. Maklum, kita sedang memasuki kehidupan hukum yang sedang chaos***.

Sumber:

Editor: Tatang Suherman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Exit mobile version