OLEH: WIDI GARIBALDI
Seorang wanita setengah baya, duduk santai menunggu kereta di stasiun. Ia memegang burger yang baru dibelinya untuk makan malam. Namanya Elva Johanson. Pekerjaannya ? Menteri Tenaga Kerja Swedia, negara kaya di Eropa. Negara yang tiap penduduknya berpendapatan US $ 33.730 per tahun. Dengan kurs Rp16.000 saja per US $,itu berarti Rp44.973.000.- per bulan ! Waw… Kendati begitu, ia tak punya mobil, hingga harus menunggu dengan sabar di stasiun agar sampai di apartemen yang terletak di luar kota. Ia tak punya ajudan, hingga harus membeli sendiri burger untuk makan malam sesampai di apartemen. Maklum, di apartemen yang dihuninya, tak ada Pembantu yang dapat diharapkan untuk memasak dan menghidangkan makanan malam.
Lain lagi cerita Mark Rutte. Dalam pemerintahan, jabatannya paling tinggi. Perdana Menteri ! Betul, Perdana Menteri Belanda, negara di belahan dunia barat yang pernah menjajah negari kita ini ratusan tahun lamanya. Mark Rutte dipercaya memerintah Negeri Kincir Angin itu tidak hanya 5 atau 10 tahun, tetapi dari tahun 2010 – 2024. Artinya, ia mengepalai negara penuh wibawa itu 14 tahun lamanya. Ketika ia, mengakhiri jabatannya, tak ada upacara apapun untuk melepasnya. Tak ada kata sambutan perpisahan apapun. Tak ada iring-iringan mobil yang dikawal khusus menggunakan motor dengan sirene meraung-raung dan melengking. Mark Rutte meninggalkan kantornya dengan santai. Setelah bersalaman dengan 2 orang pengantarnya, ia melambaikan tangan dan mengendarai kendaraannya. Bukan sedan atau moge, tapi ….sepeda. Itulah Mark Rutte, yang selama 14 tahun berkuasa dan tidak pernah menyelewengkan kewenangan yang dipercayakan rakyat kepadanya.
Rumah untuk Presiden
Di sebuah desa yang bernama Blulukan, sejumlah alat berat kini sibuk hilir mudik menimbun dan meratakan tanah. Desa itu terletak di kecamatan Colomadu, kabupaten Karanganyar. Di atas tanah lebih dari 12.000 m2 akan dibangun oleh Negara, sebuah rumah untuk tempat tinggal. Dapat dibayangkan rumah macam apa yang akan dibangun di atas tanah seluas lebih dari 1,2 hektar itu. Memang, rumah itu diperuntukkan bukan untuk sembarang orang, tetapi Presiden.
Nah, kalau di negara lain, sekaya apapun negara itu tak pernah dipikirkan rumah kediaman mantan kepala negaranya, lain halnya dengan negeri tercinta ini. Kendati utang negara mendekati angka 8.000 triliun rupiah,pembangunan rumah kediaman sang pemimpin yang akan turun takhta tak terpengaruh. Soalnya tak ada peraturan yang dilanggar. Berdasarkan Pasal 8 UU No. 7 tahun 1978 ditentukan bahwa kepada setiap mantan Presiden dan Wakil Presiden akan dipersembahkan rumah kediaman lengkap dengan perabotnya.Bukan hanya itu, tapi juga sebuah mobil lengkap dengan pengemudinya. Undang-undang itu ditetapkan pada tanggal 18 Desember 1978 oleh Soeharto.
Dapat dipastikan bahwa tak seorangpun yang berani mengingkari kehendak Soeharto ketika menetapkan undang-undang itu. Bukankah, peraturan itu diundangkan pada masa jayanya ? Walau sudah hampir setengah abad berlalu, undang-undang itu tetap eksis. Tetap berlaku. Maklum demi pemimpin. Tak perlu hirau karena rakyat sudah merasa “bahagia” dengan pemberian sembako.
Tidaklah mengherankan kalau kini, menjelang Pilkada, banyak orang menepuk dada, menganggap diri patut didaulat menjadi pemimpin walau hanya ngobral janji karena tahu tak akan ditagih apalagi harus dipertanggungjawabkan di depan Meja Hijau.
Berbahagilah para pemimpin di negara tercinta ini, karena rakyatnya yang penuh “pengertian”. Mereka terus dilayani walau seharusnya merekalah yang sesungguhnya jadi Pelayan***