Sebagai tambahan, dalam bukunya Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang terbit pada 1984, mantan pejuang Indonesia Mohamad Rivai mengungkapkan bahwa pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada September 1945, Indonesia memasuki masa bersiap menjelang akhir tahun 1945.
Situasi di Bandung semakin memanas, terutama dengan adanya pengumpulan orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang baru saja bebas dari penahanan oleh pihak Inggris, yang kemudian dipersenjatai dan terlibat dalam aksi saling ejek dengan pihak Indonesia, yang memicu konflik lebih lanjut.
Dalam bukunya, Rivai juga menyebutkan bahwa pasukan Gurkha Inggris sering kali bertindak arogan dan menerapkan teror terhadap warga Indonesia yang pro-republik.
Namun, pada 25 November 1945, ketegangan semakin memuncak, terutama dengan langkah pemerintah Republik Indonesia yang memutuskan untuk melakukan gencatan senjata dengan Inggris, yang berujung pada pertempuran hebat di Bandung pada Desember 1945 hingga Maret 1946.
Proses pembersihan dan penghancuran.
Setelah terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api pada 23-24 Maret 1946, seperti yang terlaporkan oleh Nieuwe Courant pada 26 Juni 1946, pasukan Inggris masih melanjutkan aksi militer di wilayah timur Bandung, termasuk di kawasan Cicadas.
Namun, upaya pembersihan oleh Inggris di wilayah tersebut menemui hambatan, memberi kesempatan bagi sejumlah kelompok Indonesia untuk bergerak lebih leluasa sambil berusaha mundur menuju perbukitan di Bandung dan Garut.
Dalam laporan tersebut, menyebutkan bahwa banyak warga dari daerah Cicadas, Coblong, dan Cibeunying memilih untuk mengungsi dengan melewati jalan raya menuju Ujungberung, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Tanjungsari dan Sumedang.
Sepanjang jalur Ujungberung, para pengungsi merusak rumah-rumah pribadi dan pekarangan, termasuk milik warga Indonesia.
Selain itu, di sepanjang jalan raya Cikadut, banyak perusahaan tekstil dan industri rumah tangga yang terletak di sekitarnya hancur, gudang-gudang terbakar dan hancur, hingga mesin-mesin dalam kondisi terbengkalai.
Inggris menganggap bahwa tindakan penghancuran oleh kelompok tersebut merupakan aksi yang tidak terkendali, tanpa mereka sadari telah menimbulkan kerugian ekonomi yang besar terhadap bangsa mereka sendiri.
Pada masa itu, Inggris mencurigai bahwa rakyat Indonesia berupaya mengikuti “kebijakan bumi hangus” secara terorganisir di sepanjang jalur Jalan Raya Cikadut hingga Ujungberung.