KORANMANDALA.COM – Ada dua jenis makanan yang lahir dari satu daerah kecil, namun kini berkembang di Ibukota Jakarta dan kota besar lainnya.
Yaitu Es Campur dan Bacang. Anda jangan berharap untuk bisa menemukannya di daerah asal mula kedua kudapan di ini dibuat.
Karena hingga saat ini, bila kebetulan bertandang ke Cibatu Kabupaten Garut, dijamin tidak akan menemukan, terutama Es Campur nya.
Sebab es campur ini, berkembang disetiap pelosok di Jakarta. Apa alasannya?
“Cibatu adalah sebuah kota kecamatan dan kecil. Garut pun walau ibu kota kabupaten, tapi terasa sulit untuk berkembang. Sementara Jakarta, selain kota dan penduduknya banyak juga udaranya panas,” aku H. Syamsul Arifin, warga kampung Cihuma Desa Cibunar kecamatan Cibatu kabupaten Garut.
Dia merupakan bos pemilik perusahaan Es Campur ber merek Sinar Garut. Saat ditemui koranmandala.com, kebetulan ia tengah beristirahat di kampung halaman nya.
Pria berusia 77 tahun ini, bercerita panjang mengenai awal membangun bisnisnya hingga sukses.
“Mulanya sekitar tahun 1960 an, saya bersama alm kakak berencana akan berbisnis dibidang kuliner jenis minuman berbahan sirup. Diputuskan terlebih dahulu membuat olahan sirup berbahan gula dengan konsep harus lain alias tidak sama dengan sirup botol an yang bermerek apalagi dengan pedagang es campur,” tutur H. Syamsul Arifin yang akrab dipanggil sehari-hari H. Ucu.
Daerah yang dipilih adalah kawasan Pintu besi Jakarta Pusat. Tanpa ada kendala, ternyata usahanya itu laris dan banyak penggemar.
Namun tidak lama, diputuskan untuk pindah ke kawasan Pencenongan hingga sekarang.
Atas kepindahannya itu, sempat membuat kebingungan para pelanggan, yang kemudian mencari keberadaan es campur H. ucu, kala itu.
Maka diputuskan untuk membuat nama yang terinspirasi oleh sebuah perusahaan milik orang Medan, yaitu Sinar Medan.
“Tidak ada salahnya kalau Es Campur ini bernama Sari Garut “, aku H. Ucu.
Kini, selain memiliki 300 cabang yang tersebar ditiap pelosok Jakarta dan Bekasi, juga hidangan es nya pun beragam.
Diantaranya dibuat Es Teler special, es Syanghai, es campur oyen dan es cincau susu. Mengenai omzet, menurut H. Ucu, setiap cabang itu rata rata perhari mencapai Rp. 5 juta.
Berbicara mengenai kesulitan, tentu ada, katanya, yakni bahan baku berupa buah buahan.
“Ya.. Kalau belum musim sudah pasti sulit diperoleh dan harganya pun mahal,” ungkapnya.
Membuka usaha di bidang kuliner ini, ternyata H. Ucu, tidak tanggung-tanggung, dia sekaligus mepantenkan merek berikut resepnya secara resmi ke pemerintah.
Konsep berbisnis nya pun berubah disesuaikan dengan kondisi sekarang. Yakni para cabang itu, menjadi rekan bisnis, bukan sebagai pekerja.
Setiap anggota diwajibkan membayar iuran sebesar Rp50 ribu tiap bulan untuk kepentingan organisasi dan sosial berupa santunan untuk yatim piatu dan lansia serta pembangunan sarana peribadatan berupa mesjid dan pondok pesantren.
Itu sudah berjalan dan terwujud. Organisasi nya diberi nama Persatuan Sinar Garut Asli ( PSGA).
“Mereka harus bersaing sehat termasuk tempat untuk berjualan diatur dengan jarak, agar tidak terjadi saling bantai,” imbuh H. Ucu. (*)