KORANMANDALA.COM – Kakek tua renta yang satu ini, meski usianya sudah mencapai ke 102 tahun, kondisinya nampak masih sehat dan energik.
Adalah Kuswa Sastra Wijaya bin Astadi Wangsa, warga Desa Cileuleuy, Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang saat ini hidup sebatang kara karena ditinggal kedelapan anaknya yang sudah berumah tangga.
Setiap hari, dia selalu olahraga jalan kaki “mapay lembur” sejauh 15 Kilometer dan sesekali mencoba jalan kaki ke Cirebon (Pulang-Pergi). Kebiasaan ini dilakukannya sejak dia pensiun pada usia 57 tahun.
“Tiada hari tanpa jalan kaki, untuk menjaga kesehatan tubuh,” ujarnya saat ditemui Koran Mandala, pada Minggu, 14 Agustus 2023.
Kuswa berkisah tentang perjalanan hidupnya yang sarat pengalaman dan penuh suka duka.
“Saya sekolah di zaman penjajahan Belanda mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1940, seterusnya melanjutkan ke SMP dan menyelesaikan pendidikan di SMA,” ucapnya.
Setelah tamat SMA, Kuwa mengaku, dirinya bekerja di Direktorat Kehakiman Angkatan Darat sebagai panitera.
“Ketika bekerja di kepaniteraan, saya sempat mencatat persidangan di Mahkamah Militer atau Babinkum ABRI yang mengadili tokoh DI-TII, Karto Suwiryo,” ujar Kakek dari 14 cucu dan 5 cicit ini.
Babinkum itu, lanjut Kuswa, adalah Mahkamah Militer Dalam Keadaan Perang.
“Saya bersama Hakim sering bolak-balik ke Irian Barat atau Papua untuk menangani kasus, diantaranya Letkol Untung dan kawan-kawan, ngadimo, Nyono dan Sudisman,” tutur dia yang pernah bekerja sebagai staf Presiden RI pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto itu.
Selama bertugas di Irian Barat, ujar Kuswa, dirinya bersama tim sempat mengajar warga yang masih primitif.
“Mereka diajarkan membaca huruf, menulis, cara makan dan belajar cara memakai baju. Saat itu mayoritas penduduk masih setengah telanjang,” imbuh Kuswa.
Berbicara tentang Kehakiman pada masa penjajahan Belanda, kata Kuswa, para Hakim bekerja disiplin, profesional dan jujur dalam menegakan keadilan.
“Bila menangani kasus tidak ada istilah ‘sogok menyogok’ apalagi melakukan tindak pidana korupsi,” kata dia menegaskan.
Seperti era kemerdekaan dan setelah merdeka 78 tahun, Kuswa mengungkapkan, ternyata kasus korupsi di kalangan petinggi negeri semakin merajalela.
“Ketika saya bekerja sebagai panitera, Hakim itu bekerja cerdas, cepat dan tepat dalam menegakan keadilan,” kata dia.
Menurut ajaran Prabu Siliwangi, dikatakan Kuswa, dalam bekerja itu harus beretika, tata toweksa dan bijaksana menuju kedamaian hidup.
“hidup ini harus dibuat selalu gembira dan tersenyum serta mencintai sesama,” ujarnya.
Namun, Kuswa merasa prihatin, dengan meningkatnya jumlah penduduk yang semakin bertambah, akan tetapi kualitasnya cenderung menurun.
“Jujur saja, saya mencela lulusan Sarjana yang jadi ‘tukang Ojeg’ di negeri ini,” katanya. (*)