KORANMANDALA.COM – “Amanat ti nini aki, sing asli milampah tani, lain tani ekonomi, tani adat nu mimiti, ulah rek diluliluli, sanajan zaman merdeka, adat tong direka-reka, mawa adat nu baheula..”
Begitulah penggalan lirik lagu angklung Kasepuhan Gelaralam yang berjudul “Lagu Tani”.
Penggalan lirik tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat adat Pancer Pangawinan menjalankan kehidupan bertani bukan semata-mata sebagai mata pencaharian, tetapi bertani khususnya menanam “padi huma” adalah jalan hidup yang dipilih mengikuti amanat para leluhur.
Leluhur Pancer Pangawinan berpandangan falsafah kehidupan “buhun” bukan sesuatu yang diwacanakan, didiskusikan, atau dipertanyakan, melainkan untuk memahaminya, warga hanya perlu menjalani dan mempraktekannya melalui bertani.
Falsafah “buhun” tersebut diwujudkan dalam beragam simbol-simbol yang terdapat dalam siklus tani.
Salah satu yang paling menonjol adalah Nyi Pohaci Sanghiyang Sri sebagai simbolisasi padi itu sendiri.
Menurut Didin Misbahuddin, M Hum dari Museum Kipahare Sukabumi, untuk memahami lebih lanjut mengenai pandangan masyarakat Pancer Pangawinan ini menggelar diskusi dalam tajuk : #Ngawangkong edisi kedua berjudul “Merawat Nyi Pohaci, Tani sebagai hakikat hidup Masyarakat Pancer Pangawinan”.
Diskusi tentang kehidupan para petani ini, diadakan secara hybrid baik luring (offline) maupun daring (online).
Acara Ngawangkong edisi 2 ini dipusatkan di Museum Ki Pahare, Kompleks Terminal Tipe A K.H. Ahmad Sanusi, Sukabumi, Sabtu 9 Desember 2023, Pukul 19:00 WIB sampai selesai.
Tampil sebagai Narasumber Elva Yulia Safitri, S.Pd, Kasepuhan Gelar Alam dan Didin Misbahuddin, S.Hum.
Bagi peserta harus registrasi via daring bit.ly/Ngawangkong-2 dan akan mendapat sertifikat.- *** stw