KORANMANDALA.COM – Puncak Upacara adat seren taun 22 rayagung 1957 Saka Sunda yang digelar oleh Yayasan Tri Panca Tunggal Cigugur, berlangsung meriah.
Ribuan pengunjung dari berbagai kota dan daerah tumpah ruah menyaksikan beragam pertunjukan seni tradisional, Sabtu 29 Juni 2024. Hadir Pj. Bupati Iip Hidayat, Kepala Disparbud Jabar Benny Bachtiar, Pangeran Djatikusumah beserta keluarga besar, H.Dudy Pamuji Anggota DPRD Provinsi Jabar, Rektor Unpar, Saung Udjo, dan undangan lainnya.
Seren taun 1957 Saka Sunda berlangsung selama sepekan dengan tema “Merawat, Meruwat Pusaka Budaya Nusantara” berbagai pertunjukan seni yang sarat makna menggambarkan wujud rasa syukur atas limpahan berkah dan karunia yang telah diberikan dalam satu tahun, terutama dibidang pertanian.
Upacara adat seren taun ini melibatkan masyarakat dari beberapa kabupaten/kota dengan menampilkan seni tari Jamparing Apsari dan beragam seni tradisi.
Seni Tari Jamparing memiliki makna sebagai pengetuk hati nurani, pemanah cinta kasih yang diarahkan ke jantung hati.
Jamparing berarti busur, dan anak panahnya memiliki istilah berbeda. Yakni pada satu sisi merupakan senjata yang digunakan untuk membidik dalam konteks berburu dan pada sisi lain memiliki fungsi sebaliknya, yaitu “panah asmara” yang dimaksudkan mengetuk hati nurani manusia.
Alih-alih memanah rasa kesombongan dan amarah, Jamparing Apsari melambangkan panah yang menunjukan rasa welas asih kepada manusia dan Bumi. Apsari sendiri memiliki arti sosok Bidadari.
Pertunjukan tari Puragabaya Gebang yang memiliki pemahaman akan kesadaran kodrat sebagai manusia. Selepas itu ada tari maung lugay yang bermakna filosofis kelincahan dan keperkasaan harimau dalam menjaga lingkungan. Maung lugay juga bermakna bahwa masyarakat sunda haruslah menjadi “maung” manusia unggul dari berbagai bidang.
Pertunjukan Angklung Kanekes, yg diyakini berasal dari masyarakat Kanekes (Baduy), Banten. Tradisi Angklung Kanekes biasa dilakukan untuk mengiringi ritual bercocok-tanam padi.
Menyusul pertunjukan Angklung Buncis. Merupakan pertunjukan angklung khas dari Kecamatan Cigugur. Kesenian ini merupakan kreasi sesepuh adat Pangeran Djatikusumah pada tahun 1969, yang memperoleh inspirasi dari keseharian masyarakat Cigugur.
Pertunjukan Tari Buyung, memiliki makna menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) yang erat hubungannya dengan ungkapan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’.
Sementara itu helaran memeron mewarnai pagelaran patung-patung simbolik yang diarak dengan beberapa hewan sebagai simbol seperti burung garuda, harimau, naga, kuda dan ikan dewa.
Setiap binatang yang dijadikan memeron memiliki makna tersendiri dan menjadi tradisi kepercayaan masyarakat yang turun-temurun.
Sebagai pertunjukan penutup ditampilkan prosesi Ngajayak, yaitu arak-arakan dari berbagai sudut jalan menuju ke gedung cagar budaya Paseban Tri Panca Tunggal sambil membawa hasil panen berupa padi, biji-bijian, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Acara dilanjutkan penumbukan padi hasil panen secara massal diikuti oleh tamu undangan dan masyarakat.- *** wawan jr