KoranMandala.com -Sebagai bagian dari generasi X, saya masih merasa beruntung menikmati kedamaian selama puluhan tahun. Indonesia, dengan segala dinamikanya, tetap bebas dari ancaman perang yang menghancurkan seperti yang kini dialami Ukraina atau Palestina. Kita tidak terjebak dalam konflik besar perang dunia 2 yang merenggut jutaan nyawa generasi kakek nenek kita, tak ada trauma perang saudara seperti era DI/TII atau PKI yang dialami generasi ibu bapak kita.
Walaupun kita belum mencapai status negara berpendapatan tinggi, rakyat Indonesia masih bisa menjalani kehidupan dengan tenang. Pasar ramai, jalan-jalan penuh dengan lalu lintas, dan tempat ibadah dipenuhi oleh umat yang menjalankan ritualnya tanpa ancaman. Anak-anak kita bisa bersekolah dan bermain tanpa rasa takut seperti yang dialami anak-anak di wilayah konflik. Perekonomian kita terus tumbuh, dan bahkan beberapa tahun terakhir, Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia pada tahun 2050, dengan GNP yang mungkin melampaui Jepang.
Namun, di balik semua optimisme tersebut, ada pertanyaan besar yang perlu kita renungkan: akankah negara-negara maju yang saat ini memegang hegemoni dan mendominasi ekonomi global membiarkan Indonesia melangkah sejauh itu? Akankah mereka merelakan pergeseran kekuatan dari negara-negara Utara menuju negara-negara Selatan, termasuk Asia Timur dan Asia Tenggara? Pertanyaan ini perlu menjadi bahan refleksi bagi para pemimpin, akademisi, serta masyarakat Indonesia.
Kelemahan Kapasitas Industri dan Ketergantungan Teknologi
Salah satu ancaman besar terhadap eksistensi Indonesia adalah lemahnya kapasitas industri domestik. Indonesia masih sangat bergantung pada impor, baik untuk bahan baku, barang modal, hingga teknologi canggih. Industri manufaktur Indonesia menyumbang sekitar 20% dari PDB pada 2023, lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand yang mencapai lebih dari 25%. Ketergantungan ini memperlihatkan bahwa industri dalam negeri masih jauh dari kemandirian yang dibutuhkan untuk mendukung pertahanan negara dalam situasi genting.
Di sektor alutsista, Indonesia juga masih menghadapi ketergantungan besar pada teknologi luar negeri. Menurut laporan Kementerian Pertahanan, sekitar 60% peralatan militer Indonesia masih diimpor, termasuk pesawat tempur, kapal perang, dan kendaraan tempur. Upaya untuk memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista) di dalam negeri, melalui perusahaan seperti PT Pindad dan PT PAL, masih belum bisa mencukupi kebutuhan TNI secara menyeluruh. Sementara negara-negara seperti Korea Selatan sudah mampu memproduksi dan mengekspor kapal selam serta pesawat tempur, Indonesia masih tertinggal jauh dalam penguasaan teknologi ini.
Selain itu, pengembangan teknologi militer dalam negeri juga terbentur oleh minimnya alokasi anggaran riset. Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 0,25% dari PDB untuk riset dan pengembangan (R&D), sangat kecil dibandingkan negara-negara seperti Korea Selatan yang mengalokasikan lebih dari 4%. Minimnya investasi ini menyebabkan lambatnya pengembangan teknologi strategis yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan negara.
Kemandirian Pangan yang Rentan
Sektor lain yang menjadi perhatian adalah kemandirian pangan. Indonesia memang negara agraris, namun kita masih rentan terhadap ketergantungan pangan impor, terutama dalam komoditas seperti gandum, gula, dan daging sapi bahkan beras. Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor lebih dari 10 juta ton gandum, menjadikan negara ini sebagai salah satu importir terbesar di dunia. Ketergantungan ini menciptakan kerawanan jika terjadi konflik global atau krisis yang mempengaruhi rantai pasokan pangan.
Selain itu, produktivitas pertanian Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Meskipun Indonesia adalah penghasil utama beras, produktivitas rata-rata sawah di Indonesia hanya sekitar 5 ton per hektar, lebih rendah dibandingkan Thailand dan Vietnam yang mencapai 6-7 ton per hektar. Ketergantungan ini bukan hanya pada pangan, tapi juga pada pupuk dan benih yang sebagian besar masih diimpor. Jika terjadi blokade atau krisis global yang membatasi akses impor, ketahanan pangan Indonesia akan sangat rentan.
Belum lagi jika kita bicara soal kemandirian energi. Kita benar-benar ambyar! Pening kalaupun sekedar mengingatnya.
Tantangan di Tengah Perubahan Geopolitik