Dan ada kata-kata kayak “antisipasi” yang muncul 33 kali, “berdebar” muncul 15 kali, dan frasa seperti “aku merasakan gelombang ketakutan menyapu tubuhku” muncul berkali-kali. Jelas banget, tulisan ini udah nggak terasa seperti aku.
AI Membunuh Kreativitasku
Yang paling parah, AI ngebunuh kemampuan alaminya aku buat nulis. Dulu, ide-ide ngalir terus dari kepala. Nulis 1000–3000 kata sehari itu biasa. Tapi sekarang, aku bahkan nggak bisa nulis 300 kata sendiri tanpa mandek. Aku merasa terblokir dan kehilangan kesenangan dalam menulis.
Rasanya nggak ada lagi passion yang aku punya waktu bikin buku pertama. Aku nyesel banget. Aku coba jadi sesuatu yang bukan aku, dan hasilnya nggak memuaskan.
Aku Akan Kembali ke Tulisan Asli
Akhirnya, aku memutuskan buat nulis ulang semuanya. Aku kehilangan banyak waktu dan progress, tapi aku pingin hasilnya benar-benar mewakili aku. Aku nggak peduli kalau orang bilang gaya tulisanku terlalu sederhana. Aku pingin karyaku terasa asli, jujur, dan 100% aku.
Pakai AI mungkin bikin tulisan terlihat bagus, tapi kalau nggak terasa “aku”, ya buat apa? Aku pingin pembaca jatuh cinta dengan cerita, bukan cuma permainan kata.
Jadi, aku nggak akan pakai AI lagi. Karena, buatku, nulis itu harus datang dari hati dan pikiran sendiri. Tulisan sederhana tapi manusiawi jauh lebih berharga daripada paragraf indah tapi hampa. ***