KoranMandala.comMengapa negara tidak berani menghukum mati para pelaku koruptor? Seolah bersikap lunak terhadap kejahatan keji yang telah diperbuat oleh oknum-oknum terkait. 

Karena pelaku bersikap sopan? Apa karena iba terhadap mereka-mereka yang berkeluarga? Atau karena relasi personal yang dimiliki antara penindak kejahatan dengan pelaku kejahatan?

Ternyata, dahulu kala, di masa pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Gubernur-Jenderal bernama Herman Willem Daendels pernah dihadapkan pada situasi serupa. Seorang perwira kepercayaannya seketika tertangkap sebagai pelaku korupsi.

Rocky Gerung Sebut Janji Presiden Prabowo Berantas Korupsi Sebagai Paradoks

Lalu, apa tindakan yang diambil oleh Daendels? Apakah kepercayaan terhadap perwira tersebut menjadikannya tidak tegas akan kejahatan sang perwira? 

Daendels menjabat singkat di pemerintahan Hindia Belanda, hanya berkisar 1808-1811. Namun demikian, Daendels berhasil membawa konsep negara modern ke Hindia Belanda. Konsep yang dibawanya ini mengenal batas-batas daerah, wilayah, dan hierarki kepegawaian.

Selain itu, konsep negara modern lainnya yang dibawa oleh Daendels adalah tindakan anti korupsi dan penyelewengan lain. Yang sebelumnya sempat menjadi sebuah kelaziman pada masa VOC.

Daendels memiliki obsesi untuk menghilangkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia melihat korupsi sebagai konflik kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Bagi Daendels, korupsi telah merusak hierarki para pejabat Hindia Belanda dan efisiensi pemerintahan.

Mereka yang terbukti melakukan korupsi akan dihukum dengan membayar denda, dicopot dari jabatannya, bahkan bisa dihukum mati. Hukuman mati akan ditegakkan kepada para koruptor yang terbukti merugikan negara sebesar 3.000 ringgit (setara dengan gaji satu bulan ketua Raad van Indie/Dewan Hindia).

Suatu ketika, seorang perwira kepercayaan Daendels, bernama Kolonel JPF Filz terbukti tidak mampu mempertahankan Maluku dari Inggris. Bagi Daendels, kegagalan Filz menyebabkan hangusnya kekayaan negara yang ada di Maluku.

Atas kegagalannya itu, Filz kemudian dihukum mati karena telah merugikan negara lebih dari 3.000 ringgit. Hukuman mati untuk Filz dilakukan dengan menembaknya pada 10 Juni 1810.

Meskipun bukan tindak korupsi secara langsung, kerugian negara yang disebabkan oleh Filz tetap dianggap sebagai kejahatan. 

Lalu, bagaimana dengan negara ini? Kerugian negara beratus-ratus triliun, menambah kesengsaraan bagi rakyat kecil, namun hanya hukuman kecil yang diterima para koruptor. ***




Sumber: historia.id

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis

PT MANDALA DIGITAL MEDIA
Jl. Waluh No 12, Malabar,
Kecamatan Lengkong,
Kota Bandung, Indonesia

bisniskoranmandala@gmail.com

Exit mobile version