KoranMandala.com -Beberapa waktu lalu, laporan dari World Population Review kembali mengungkap bahwa rata-rata IQ orang Indonesia masih berada di angka 78,49. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-127 dari 197 negara yang diuji pada tahun 2024. Sontak, data ini kembali menjadi perdebatan di berbagai kalangan, terutama setelah pengamat politik Rocky Gerung menyebut bahwa IQ orang Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan simpanse.
Pernyataan ini tentu memicu kontroversi. Benarkah angka 78,49 ini mencerminkan kecerdasan intelektual seluruh rakyat Indonesia? Bagaimana metode pengukuran yang digunakan? Seberapa valid data ini untuk dijadikan rujukan? Tulisan ini akan membahas asal-usul data tersebut, metodologi yang digunakan, serta kritik terhadap akurasi dan representasi angka yang disajikan.
Wamen Dikdasmen: Guru Penggerak Kunci Transformasi Pendidikan Indonesia
Asal-Usul Data IQ 78,49: Sebuah Tinjauan Kritis
Angka 78,49 yang berulang kali dikutip oleh berbagai media ternyata berasal dari buku The Intelligence of Nations karya Richard Lynn dan David Becker, yang diterbitkan oleh Ulster Institute for Social Research pada 2019. Buku ini menyusun peringkat IQ nasional berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan di masing-masing negara.
Dalam kasus Indonesia, data yang digunakan berasal dari delapan penelitian berbeda yang dilakukan antara tahun 1980 hingga 2017. Penelitian-penelitian ini dilakukan oleh berbagai akademisi, seperti Bleichrodt, Hadidjaja, Heilmann, dan Rindermann. Namun, yang menjadi permasalahan adalah sampel yang digunakan dalam penelitian ini tergolong kecil dan tidak representatif terhadap populasi Indonesia yang berjumlah lebih dari 270 juta jiwa.
Kelemahan Metodologi dan Sampel yang Tidak Representatif
Dalam konteks penelitian IQ nasional, validitas dan representasi data sangat penting. Dalam studi yang digunakan untuk menentukan IQ Indonesia, jumlah total sampel hanya 2.327 orang. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan anak-anak berusia di bawah 10 tahun (1.453 orang), sedangkan sisanya terdiri dari 241 remaja dan 633 orang dewasa.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah sampel sekecil ini cukup untuk mewakili lebih dari 270 juta penduduk Indonesia? Selain itu, sebagian besar penelitian menggunakan metode tes Colored Progressive Matrices (CPM), yang hanya mengukur aspek penalaran spasial dan nonverbal. Ini berarti kecerdasan verbal dan numerik tidak masuk dalam penilaian, sehingga memberikan gambaran yang tidak lengkap tentang kecerdasan secara menyeluruh.
Sebagai perbandingan, beberapa negara lain menggunakan tes yang lebih kompleks, seperti Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) atau Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), yang mampu mengukur berbagai aspek kecerdasan, termasuk verbal, logika numerik, dan kecepatan pemrosesan informasi. Jika metode yang lebih komprehensif digunakan di Indonesia, hasilnya mungkin akan sangat berbeda.
IQ Indonesia Dibandingkan dengan Negara Lain
Laporan dari World Population Review menunjukkan bahwa IQ rata-rata dunia berkisar antara 85 hingga 115. Sementara itu, Indonesia dengan skor 78,49 berada di bawah rata-rata global. Di Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti:
Laos: 80,99
Filipina: 81,64
Malaysia: 87,58
Thailand: 88,87
Vietnam: 89,53
Myanmar: 91,18
Kamboja: 99,75
Singapura: 105,89
Singapura bahkan menempati peringkat ketiga dunia dalam daftar negara dengan IQ tertinggi, hanya kalah dari Jepang (106,48) dan Taiwan (106,47). Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah perbedaan ini murni disebabkan oleh faktor genetik, atau ada faktor lain yang lebih dominan?
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ di Indonesia
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga oleh lingkungan, pendidikan, pola asuh, dan nutrisi. Beberapa faktor yang mungkin berkontribusi terhadap rendahnya rata-rata IQ di Indonesia antara lain:
1. Kualitas Pendidikan yang Kurang Optimal
Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara dalam survei Programme for International Student Assessment (PISA). Survei ini mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa sekolah menengah. Rendahnya peringkat ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain.
2. Gizi dan Stunting
Gizi buruk, terutama pada usia dini, dapat mempengaruhi perkembangan otak dan kecerdasan seseorang. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi. Anak-anak yang mengalami stunting berisiko mengalami keterlambatan perkembangan kognitif yang dapat berdampak pada IQ mereka di kemudian hari.
3. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Akses terhadap pendidikan dan fasilitas kesehatan yang baik masih menjadi privilese bagi kelompok tertentu di Indonesia. Ketimpangan ini membuat sebagian besar anak-anak di daerah terpencil tidak mendapatkan pendidikan yang layak, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecerdasan mereka.
IQ Jongkok atau Kebijakan Jongkok?
Beberapa pengamat menilai bahwa masalah kecerdasan di Indonesia bukan hanya terletak pada individu, tetapi juga pada kebijakan yang diambil oleh para pemimpin negara. Indra Charismiadji, seorang pengamat politik, bahkan menyebut bahwa bonus demografi Indonesia yang diperkirakan terjadi pada 2030 bisa berubah menjadi bencana jika kualitas pendidikan tidak segera diperbaiki.
Lebih jauh, Indra menyinggung soal utang luar negeri Indonesia yang sebagian besar berasal dari Singapura dan China. Ia mempertanyakan, apakah rendahnya kecerdasan para pengambil kebijakan menjadi penyebab mengapa Indonesia terus bergantung pada utang dari negara-negara dengan IQ yang jauh lebih tinggi?
Dalam konteks ini, penting untuk melihat apakah skor IQ yang rendah ini mencerminkan kecerdasan individu, atau justru kebijakan yang diambil oleh pemimpin bangsa yang kurang visioner.
Kesimpulan Bagian 1: Apakah IQ 78,49 Layak Dijadikan Acuan?
Sejauh ini, ada banyak alasan untuk mempertanyakan validitas skor IQ 78,49 yang disematkan pada Indonesia. Kecilnya jumlah sampel, metode pengukuran yang tidak mencakup aspek kecerdasan secara luas, serta faktor-faktor eksternal seperti pendidikan dan gizi membuat angka ini tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur kecerdasan nasional.
Namun, di sisi lain, data ini tetap menjadi peringatan bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan pendidikan dan kesehatan, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara.
Pada bagian kedua, kita akan membahas lebih dalam tentang solusi apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan nasional, serta bagaimana negara-negara lain berhasil meningkatkan rata-rata IQ mereka.