Kecurigaannya semakin besar, dan ia merasa mungkin dirinya adalah anak haram. Ketidakpercayaan ini membuat Kusni bersumpah untuk tidak pulang sebelum ibunya menceritakan kisah yang sebenarnya.
Parakitri, dalam bukunya, akhirnya mengungkapkan bahwa Kusni bukanlah berasal dari Blitar, seperti yang selama ini ia percayai. Ia sebenarnya lahir di Desa Bayan Patikrejo, Kabupaten Tulungagung, sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar. Ayahnya, Wonomejo, bukanlah kepala desa, melainkan seorang petani biasa. Sebelum menikahi Kastun, Wonomejo sudah memiliki istri dan memiliki delapan anak. Sementara Kastun, yang merupakan istri adik kandung Wonomejo, memiliki seorang anak perempuan bernama Kuntring.
Setelah suaminya meninggal, Kastun menjadi seorang janda. Tak lama kemudian, istri Wonomejo juga meninggal. Secara diam-diam, Wonomejo menikahi Kastun, yang sebelumnya adalah adik iparnya. Pernikahan yang disembunyikan ini kemudian menimbulkan gosip di kalangan warga, terutama ketika diketahui bahwa Kastun sedang mengandung Kusni.
4 Sosok Pahlawan yang Tidak Terkenal, Jangan Sampai Perjuangannya Hilang Jejak
Ketika Kusni berusia enam tahun, Wonomejo meninggal dunia akibat sakit, bukan karena disiksa oleh tentara Jepang. Sebelum pindah ke Malang, Kastun bersama Kusni kecil dan Kuntring, kakak Kusni yang berbeda ayah, singgah lebih dulu di Desa Jatituri, Blitar. Di rumah seorang teman yang sudah dianggap saudara, Kuntring ia titipkan, sementara Kusni dibawa ke Malang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Kastun berjualan pecel di teras rumah kontrakan di Gang Jangkrik, Wetan Pasar.
Sekitar Oktober 1945, rombongan Kusni tiba di Surabaya. Rombongan pejuang dari Malang datang pada saat insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato yang baru saja terjadi. Situasi perlawanan rakyat Surabaya, yang dipimpin oleh Dr. Moestopo, tengah memuncak.
Moestopo, seorang dokter kelahiran Ngadiluwih, Kediri, sekaligus bekas komandan PETA Sidoarjo, mengobarkan semangat perjuangan. Di siaran RRI, Bung Tomo terus menyuarakan orasi yang menggelorakan semangat juang, tidak ada kata menyerah.
Slogan “Merdeka atau Mati” terus bergelora di seluruh penjuru. Sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan, rakyat lebih memilih mati daripada tunduk lagi. Dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, Komandan Brigade 49 Divisi India Ke-XXIII, tewas.
Inggris pun marah, dan untuk mengancam, mereka menyebarkan selebaran ultimatum untuk menyerah dari pesawat terbang.
Inggris mengeluarkan ancaman untuk menghancurkan Surabaya. Hal ini memicu kemarahan luar biasa di kalangan warga Surabaya. Arek-arek Surabaya merasa terpanggil untuk bertindak. Kusni juga tak bisa menahan amarahnya. Semua pihak, tanpa terkecuali, merasakan kemarahan yang mendalam. “Arek-arek Surabaya telah mencium bau mesiu . Kita tidak bisa digertak. Rapatkan barisan saudara-saudara, Inggris kita linggis! Inggris kita linggis! Saudara-saudara dengar?, Inggris kita linggis!”.
Suara Bung Tomo terus menggelora, membakar semangat perjuangan. Pada tanggal 10 November 1945, tepat pukul 06.00 WIB, pertempuran sengit yang kelak diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan, dimulai.