Minggu, 2 Februari 2025 14:06

KoranMandala.com -Sebelum peristiwa perampokan Museum Nasional Jakarta pada tahun 1963 yang menjadikannya sosok legendaris, Kusni Kasdut terkenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Namun, kisah ini jarang diketahui publik. Mayoritas orang hanya mengenal Kusni sebagai seorang penjahat besar yang menakutkan, meskipun ia pernah menempuh pendidikan di sekolah teknik.

Sebagai seorang perampok museum, pembunuh polisi di Semarang, penculik dokter Tionghoa di Surabaya, dan pembunuh miliarder keturunan Arab di Jakarta, Kusni juga terkenal karena beberapa kali berhasil melarikan diri dari penjara. Pada masa penjajahan Jepang, sebelum Indonesia merdeka, Kusni merupakan anggota Heiho, yaitu tentara bentukkan oleh Jepang.

Sebagai anggota tentara di Batalyon Matsumura Malang, ia memperoleh pelatihan intensif dalam berbagai teknik perang, seperti pengoperasian senjata, penyamaran, pertempuran, sabotase, dan gerilya. Pangkat tertingginya adalah Jokotei. Ketika Jepang akhirnya menyerah, Kusni bergabung dengan Barisan Pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.

Pertempuran Surabaya: 5 Tokoh Sejarah yang Menjadi Saksi Bisu Penetapan Hari Pahlawan Nasional 10 November

BKR berdiri hanya empat hari setelah Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta. Saat itu, berita kemerdekaan telah lebih dahulu menyebar di kalangan para pejuang, memicu euforia yang meluas. Seruan “merdeka” bergema di berbagai penjuru, termasuk di Malang, tempat di mana Kusni berjuang dan menetap.

“Bung Kusni,” demikian panggilan sesama laskar pejuang kemerdekaan kepadanya. Seorang pria pendiam dengan kulit cerah dan kumis tipis, tubuhnya tidak tinggi, berperawakan kecil, namun penuh tenaga dan ketangguhan. Meskipun tampak sederhana, sorot mata Kusni Kasdut tajam dan penuh keberanian. Solidaritasnya terhadap sesama pejuang sangat tinggi.

Pada masa itu, ia masih dikenal dengan nama Kusni, tanpa tambahan “Kasdut” di belakangnya. Kusni terlibat langsung dalam aksi pelucutan senjata tentara Jepang di Malang, memimpin penyerbuan ke gudang-gudang senjata, merebut amunisi, dan membagi-bagikannya kepada para pejuang. Tak hanya itu, ia juga ikut merebut aset vital yang tak terhindarkan. Tentara Jepang yang morale-nya telah hancur akibat kekalahan perang ditawan, sementara yang melawan terpaksa dilenyapkan.

Menjelang akhir Oktober 1945, Surabaya yang kelak menjadi ibu kota Jawa Timur, tengah bergolak. Inggris dan NICA, dengan tentara Belanda yang ikut campur, berusaha untuk menjajah kembali Indonesia lewat Surabaya. Sejak September 1945, pasukan Inggris sudah memasuki Semarang, dan mendengar kabar itu, semangat Kusni memuncak. Dengan sepucuk bedil thomson rampasan, granat rakitan dari Claket (Malang), serta semangat nasionalisme yang berkobar, Kusni Kasdut berangkat menuju Surabaya.

“Kusni dan rombongan naik kereta api menuju Surabaya. Sejak keberangkatan dari Rampal hingga mendekati kota Malang, suasana semakin memanas,” tulis Parakitri dalam buku Kusni Kasdut.

Meskipun kisah tentang asal-usulnya di Blitar sudah tersebar luas, baik melalui cerita yang dikemukakan oleh ibunya, Kastun, maupun pengakuan Kusni saat diinterogasi oleh aparat kepolisian, kenyataannya tidak sesuai dengan yang diperkirakan banyak orang. Bahkan dalam buku Menerjang Badai Kekuasaan oleh Daniel Dhakidae, menyebutkan bahwa tanggal lahir Kusni sulit dipastikan, dan untuk keperluan resmi, ia mencatatkan tanggal lahirnya sebagai 29 Desember 1929.

Kastun, ibunya yang berjualan pecel di Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang, mengatakan bahwa Kusni berasal dari Blitar. Namun, Kusni yang merasa curiga terhadap cerita tersebut memutuskan untuk mencari kebenarannya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, sehingga memutuskan untuk mengunjungi Desa Jatituri di Blitar. Sayangnya, ia tidak menemukan bukti yang membenarkan cerita ibunya, bahkan merasa kecewa karena nama-nama yang beliau sebutkan tak pernah ada.

1 2 3 4 5



Sumber:

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis
Exit mobile version