KoranMandala.com – Komunitas anthroposophy di Bandung raya menggelar kegiatan study group yang dilanjutkan sesi art theraphy, Sabtu 8 Februari 2025.
Kegiatan dimulai dengan sesi study group bulanan Jagad Alit Waldorf yang kali ini membahas The Use of Rhythm and Repetition to Support Learning and Healthy Development dari buku Free to Learn yang ditulis oleh Lynne Oldfield.
Lynne Oldfield sendiri merupakan penulis asal Gloucester di Inggris serta pengajar sekaligus Direktur di lembaga London Steiner Waldorf Early Childhood Teacher Training Course.
Study group dimoderasi oleh Kenny Dewi, Ketua Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia yang sehari-hari merupakan guru di Jagad Alit Waldorf playgroup & kindergarten, sekaligus dosen FE UNPAR Bandung. Dalam diskusi bersama peserta, Kenny menyampaikan pentingnya menjaga keseimbangan ritme breathing in dan breathing out serta boundaries dalam pola asuh dan pendidkan bagi anak usia dini, baik di sekolah apalagi di rumah bersama orang tua mereka.
Pendidikan Waldorf Melalui Kekuatan Ritme, Pengulangan dan Rasa Takzim Pada Anak Usia 0-7 Tahun
Apa itu Art Theraphy?
Dalam konteks anthroposophy, art theraphy adalah jenis terapi komplementer yang menggunakan seni untuk membantu orang mengeksplorasi emosi, pikiran, dan perspektifnya. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa seni dapat membantu orang mengembangkan kesadaran diri, menyembuhkan emosi, dan tumbuh secara pribadi.
- Menggambar
- Melukis
- Membuat patung dari clay
- Membuat kerajinan
- Bermain warna-warna
- Terapi musik
- Creative atau expressive writing
Figur Graceana Lanrikasandy
Selain kiprahnya dalam dunia ilustrasi, ibu 2 anak ini memang gemar mempelajari dan mempraktekkan anthroposophy melalui pendidikan dan seni didalamnya. Grace pernah mengikuti Grade School Teacher Training yang diadakan di Bandung, Waldorf Early Childhood Teacher Training di Jogjakarta, bahkan sampai terbang ke Malaysia untuk memperdalam art theraphy.
Apa Kata Peserta?
Kegiatan study group dan art theraphy yang diikuti berbagai kalangan, mulai dari karyawan BUMN, dosen di PTS, guru TK, orang tua murid, pelaku UKM, sampai profesional di bidang geomatics engineering menyampaikan berbagai pengalamannya.
Triyana Iskandarsjah, salah satu dosen senior di Program Studi Manajemen, FE UNPAR yang turut hadir dan mengikuti kegiatan art theraphy berujar, “Menghilangkan rasa terburu-buru, menjadi relaks dan release”.
Kharisma Alin, salah satu peserta yang hadir bersama suami dan anaknya, awalnya merasakan bingung karena tidak ada arahan yang terstruktur. Namun sejalan dengan upayanya untuk melibatkan feeling saat menggambar, ia menikmati setiap goresan yang akhirnya membentuk suatu makna yang ia dapatkan.
Peserta lainnya, Asep Suhendar, penggagas komunitas Rumah Pelangi yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai Pemuda Inspiratif dari Bupati Kabupaten Bandung menyampaikan perasaan kagum atas keindahan yang ia dapatkan saat berinteraksi dengan warna-warni yang terbentuk di atas kertas.
Di akhir sesi, Grace meminta setiap orang untuk memilih 1 kata yang mewakili pengalaman yang peserta rasakan setelah mengikuti art theraphy ini. Berikut rangkaian kata-kata yang terujar dari tiap peserta “berusaha, lepas, ruang, indah, merinding, lembut, ekspresi, terang, estetik, bagus, lega, sesak, damai, release, keren”!
Road to Indonesia International Anthroposophic Conference 2025
Kegiatan study group dan art theraphy ini merupakan salah satu rangkaian menuju konferensi anthroposophy pertama di Indonesia. Indonesia International Anthroposophic Conference (IICA 2025) rencananya akan digelar akhir Juli tahun ini di kampus UNPAR Bandung.
Hajat besar ini merupakan kerjasama dari beberapa lembaga dan komunitas diantaranya UNPAR,Enzim Bakti Indonesia, Roemah Planet, dan Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia.
“Mau mengajak banyak orang untuk kembali menyadari spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana manusia memiliki tujuan mulia sebagai bagian dari alam semesta”, pungkas Triyana saat ditanya hal apa yang melatarbelakangi UNPAR memberikan dukungan pada konferensi ini.(FMA)