Koran Mandala -Syawal adalah bulan ke-10 dalam kalender Hijriyah dan menjadi simbol kemenangan bagi umat Islam setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh.
Selain itu, Syawal juga terkenal sebagai bulan yang penuh keberkahan. Di dalamnya terdapat berbagai amalan yang memiliki ganjaran besar bagi siapa saja yang melaksanakannya dengan ikhlas.
Merujuk pada literatur sejarah, bulan Syawal tidak hanya identik dengan perayaan Idul Fitri, tetapi juga menjadi saksi beberapa peristiwa besar dan bersejarah. Salah satunya adalah pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah RA.
Pemilihan bulan Syawal sebagai waktu pernikahan Rasulullah SAW tentu bukan tanpa alasan. Di balik keputusan tersebut, terdapat makna mendalam yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Syawal sebagai Momentum untuk Melanjutkan Kebiasaan Ibadah di Bulan Ramadhan
Melansir mirror.mui.or.id, kata ‘Id berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘adah yang berarti kebiasaan. Selain itu, kata ini juga berasal dari al-‘audah, yang memiliki makna kembali.
Selama bulan Ramadhan, umat Islam meningkatkan intensitas ibadah dibanding bulan-bulan lainnya. Mereka memperbanyak shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, bersedekah, hingga beritikaf demi meraih keberkahan di bulan suci tersebut.
Dalam konteks yang sama, makna al-‘audah sebagai “kembali”, yang artinya sebagai ajakan bagi umat Islam untuk terus melanjutkan amal ibadah yang telah dilakukan sepanjang Ramadhan. Hal ini menjadi pengingat agar kebiasaan baik tersebut tetap terjaga di bulan-bulan berikutnya, termasuk Syawal.
Lebih dari sekadar perayaan, ‘Id juga bermakna kebahagiaan. Rasulullah SAW pun mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَققَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Dari ‘Aisyah berkata, “Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu’ats.” ‘Aisyah melanjutkan kisahnya, “Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, “Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah ﷺ!” Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya ‘Ied. Maka bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita.” (HR Bukhari, no 899).
Alasan Pernikahan Rasulullah pada Bulan Syawal
Sebelum kedatangan Islam, anggapan bulan Syawal yaitu sebagai waktu yang terlarang untuk melangsungkan pernikahan di era Jahiliyah. Masyarakat pada masa itu meyakini bahwa menikah di bulan Syawal akan berujung pada perceraian.