Koran Mandala -Besok kembali bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kartini. Lebih dari seabad telah berlalu sejak Raden Ajeng Kartini menyalakan bara semangat emansipasi dari balik dinding pingitan. Ia menulis dengan getir, tapi juga harapan. Tentang perempuan yang harus bisa berpikir merdeka, memperoleh pendidikan yang layak, dan memainkan peran sosial yang setara dalam masyarakat. Kini, setelah sekian lama, pertanyaan besar itu patut kita ajukan: jika Kartini masih hidup hari ini, akankah ia bangga melihat bagaimana perempuan Indonesia menjalani perannya dan menjaga moralitasnya?
Dari satu sisi, kita tentu bisa menjawab dengan optimisme. Perempuan Indonesia hari ini tampil di berbagai lini kehidupan. Mereka memimpin perusahaan, menjadi kepala daerah, jurnalis tangguh, pendidik inspiratif, bahkan pemimpin militer dan penentu arah kebijakan negara. Undang-undang memberikan hak yang setara, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan semakin terbuka. Perempuan kini tidak lagi sekadar pendamping, melainkan penggerak perubahan.
Namun sisi lain dari potret ini juga memunculkan ironi yang getir. Dalam era digital dan keterbukaan informasi, sebagian perempuan justru terjebak dalam pusaran hedonisme, eksploitasi diri demi konten viral, dan komodifikasi tubuh untuk popularitas instan. Nilai-nilai luhur yang dahulu diperjuangkan Kartini—kemuliaan dalam berpikir, kehormatan dalam bersikap, dan keanggunan dalam moralitas—sering kali tertukar dengan pencitraan semu dan gaya hidup permisif yang mengabaikan etika.
Kartini memperjuangkan perempuan agar bebas dari penindasan, bukan agar bebas berbuat semaunya. Ia bermimpi perempuan mampu mendidik generasi bangsa, bukan menjadi tontonan tanpa arah. Ia ingin perempuan setara, tapi tetap terhormat. Maka, jika hari ini masih ada perempuan yang menganggap kebebasan sebagai dalih untuk meninggalkan nilai-nilai moral, kita patut bertanya ulang: benarkah ini cita-cita Kartini?
Dalam realitas sosial kita pun, kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, diskriminasi belum benar-benar sirna, dan ruang politik masih menyisakan bias gender. Maka perjuangan belum usai. Kartini mungkin akan tersenyum melihat banyak perempuan yang cerdas dan berdampak, namun ia juga mungkin akan menitikkan air mata menyaksikan moralitas sebagian generasi yang kehilangan arah.
Refleksi ini bukan untuk menghakimi, tapi mengingatkan. Bahwa menjadi perempuan merdeka bukan sekadar soal kebebasan memilih, melainkan juga tanggung jawab untuk menjaga marwah diri dan nilai-nilai kemanusiaan. Menjadi Kartini masa kini berarti menanamkan semangat perubahan dengan integritas, menapaki panggung kehidupan tanpa kehilangan akhlak dan akal sehat.
Akhirnya, jawaban atas pertanyaan di atas tidak bisa tunggal. Kartini mungkin akan bangga pada sebagian perempuan Indonesia hari ini, dan bersedih pada sebagian lainnya. Tapi yang pasti, ia ingin kita terus bertanya, terus memperbaiki, dan terus menyalakan terang dalam gelap zaman.