KoranMandala.com -Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Tiongkok kembali menciptakan ketidakpastian dalam perdagangan global. Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan ekonomi Tiongkok dapat membawa dampak besar terhadap ekspor nasional, terutama di sektor batu bara, kelapa sawit, dan manufaktur.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, mengatakan bahwa kebijakan proteksionisme AS dapat menekan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Dampaknya bisa dirasakan langsung oleh Indonesia, baik dari sisi ekspor yang melambat maupun potensi masuknya produk-produk Tiongkok ke pasar domestik.
Ancaman dan Peluang bagi Indonesia
Sejak perang dagang AS-Tiongkok dimulai pada era pemerintahan Trump pertama, tekanan terhadap ekonomi Tiongkok terus meningkat. Kini, dengan tarif yang lebih tinggi, potensi perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin besar. Indonesia yang selama ini menggantungkan ekspornya pada Tiongkok bisa mengalami tekanan signifikan jika permintaan menurun.
Namun, di balik ancaman ini, terdapat peluang besar bagi Indonesia. Juli menyebutkan bahwa Indonesia bisa merebut pangsa pasar ekspor yang ditinggalkan oleh Tiongkok di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa produk dari Indonesia memiliki kesamaan dengan produk ekspor Tiongkok dan bisa menjadi alternatif di pasar global.
Relokasi Investasi dan Tantangan Infrastruktur
Selain peluang ekspor, kebijakan tarif AS terhadap Tiongkok juga mendorong relokasi investasi ke negara-negara lain. Sebelumnya, Vietnam menjadi tujuan utama relokasi manufaktur, namun kini dengan risiko tarif yang sama, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menarik modal asing.
Agar dapat memanfaatkan peluang ini, kesiapan infrastruktur, regulasi investasi yang kompetitif, serta insentif fiskal menjadi faktor kunci. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bersinergi untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik dan memastikan daya saing ekspor Indonesia tetap kuat di pasar internasional.