Koran Mandala – BMI (Business Monitor International) memproyeksikan pelemahan rupiah akan terus berlanjut hingga menyentuh Rp17.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir 2025. Penyebab utama melemahnya rupiah adalah volatilitas global akibat ketidakpastian kebijakan AS serta perubahan strategi belanja pemerintah Indonesia.
Nilai tukar rupiah telah mencapai level terendah sepanjang sejarah di angka Rp16.561 per dolar AS pada Februari 2025. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dampaknya akan semakin buruk bagi perekonomian Indonesia.
Intervensi Bank Indonesia Belum Cukup?
Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai upaya untuk menahan laju depresiasi rupiah. BI aktif mengintervensi pasar spot, domestic non-deliverable forwards (DNDF), serta pasar obligasi guna menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran rupiah.
Selain itu, pemerintah mewajibkan para eksportir untuk menyimpan semua pendapatan devisanya di dalam negeri selama satu tahun. Langkah ini diharapkan bisa memperkuat cadangan devisa dan menopang nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global.
Namun, dalam risetnya, BMI menegaskan bahwa intervensi yang dilakukan BI kemungkinan tidak cukup untuk membendung pelemahan rupiah. Ketidakpastian kebijakan AS, inflasi global, serta tekanan eksternal lainnya tetap menjadi faktor utama yang berisiko menekan mata uang rupiah dalam beberapa bulan ke depan.
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Rupiah
Dari sisi internal, kebijakan fiskal pemerintah juga turut mempengaruhi nilai tukar rupiah. BMI menyebut bahwa manuver fiskal Presiden Prabowo Subianto berpotensi membebani anggaran negara. Pemerintah baru-baru ini mengalihkan dana sebesar US$18,8 miliar atau sekitar Rp306 triliun untuk mendukung program-program strategisnya. Sayangnya, pemangkasan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas ekonomi Indonesia.
Selain itu, Prabowo juga membentuk tim khusus untuk merevisi undang-undang terkait batasan fiskal. Jika revisi ini berhasil, profil fiskal Indonesia bisa mengalami penurunan yang lebih dalam, berisiko memperburuk kepercayaan investor dan semakin menekan rupiah.
Efek Kebijakan The Fed terhadap Rupiah
Di sisi eksternal, kebijakan moneter AS juga berdampak langsung pada pergerakan rupiah. BMI memperkirakan bahwa The Fed hanya akan memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,00% pada akhir 2025. Dengan pemangkasan yang lebih kecil dari ekspektasi pasar, investor kemungkinan akan tetap memilih aset berdenominasi dolar AS, sehingga menambah tekanan pada rupiah.
Selain itu, kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, diperkirakan akan memperburuk tekanan inflasi global. Hal ini dapat menyebabkan perlambatan dalam siklus pelonggaran moneter AS dan menghambat pemulihan mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Investor Khawatir, Pasar Saham Tertekan
Selain melemahkan rupiah, ketidakpastian ekonomi juga mempengaruhi pasar modal. Pemerintah berencana membentuk sovereign wealth fund kedua bernama Danantara, yang bertujuan untuk mengambil alih kendali atas beberapa perusahaan BUMN strategis. Namun, langkah ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor.
Pasca pengumuman pembentukan Danantara, arus modal keluar meningkat tajam, menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 6%. Hal ini menjadi tanda bahwa kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia mulai terganggu.
Tantangan Besar Menanti Rupiah
Dengan berbagai tekanan eksternal dan internal, nilai tukar rupiah masih berisiko mengalami pelemahan lebih lanjut. Bank Indonesia terus berupaya menstabilkan nilai tukar melalui intervensi pasar, sementara pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menjaga kepercayaan investor.
Jika kondisi ini tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, bukan tidak mungkin pelemahan rupiah akan berlanjut hingga mencapai Rp17.000 per dolar AS pada akhir 2025. Oleh karena itu, diperlukan strategi ekonomi yang lebih solid untuk menghadapi ketidakpastian global dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di masa mendatang.