Koran Mandala -Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Februari 2025 mencatatkan defisit Rp31,2 triliun atau setara 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit pertama dalam beberapa tahun terakhir di periode yang sama, memicu kekhawatiran sejumlah ekonom terkait stabilitas fiskal Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa defisit ini masih berada dalam batas aman yang ditetapkan APBN, yaitu hingga 2,3% dari PDB atau sekitar Rp616,2 triliun. Meski demikian, data menunjukkan adanya perlambatan penerimaan negara dan penurunan belanja pemerintah dibandingkan tahun sebelumnya.
Pendapatan negara selama dua bulan pertama 2025 tercatat Rp316,9 triliun, turun 20,8% secara tahunan (YoY), terutama akibat melemahnya harga komoditas global seperti batu bara, minyak, dan nikel. Sementara itu, belanja negara juga turun 7% YoY menjadi Rp348,1 triliun, dengan efisiensi belanja kementerian/lembaga mencapai Rp306,7 triliun sesuai instruksi Presiden Prabowo Subianto.
Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa defisit lebih awal ini menjadi preseden baru, mengingat pada Februari 2022, 2023, dan 2024 APBN masih mencatatkan surplus. Senada, pengamat ekonomi Ihsanudin Noorsy menilai kebijakan fiskal dalam satu dekade terakhir belum berhasil memperkuat fundamental ekonomi, dengan utang negara yang terus meningkat tanpa dampak signifikan terhadap efisiensi biaya transportasi dan sektor riil.
Selain itu, laporan Bloomberg menyebut adanya rumor perombakan kabinet yang mungkin melibatkan Sri Mulyani. Namun, juru bicara Kantor Komunikasi Presiden, Phillips J. Vermonte, menegaskan bahwa keputusan reshuffle sepenuhnya berada di tangan Presiden Prabowo.
Dengan defisit yang datang lebih awal dan tantangan ekonomi yang terus berkembang, pemerintah kini dihadapkan pada tugas berat menjaga keseimbangan fiskal sembari tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.