Koran Mandala – Pasar saham global kembali diguncang hebat. Senin, 7 April 2025, tercatat sebagai salah satu hari tergelap dalam sejarah bursa saham Asia dan Eropa. Setidaknya dalam beberapa dekade terakhir.
Dari Shanghai, Tokyo, Sydney, hingga Hong Kong, indeks saham berjatuhan dalam angka yang mencengangkan. Untungnya, IHSG masih libur saat peristiwa ini terjadi.
Beberapa pihak menyebut bahwa beberapa penurunan disebut sebagai yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Kengerian ekonomi global mulai terasa lagi—dan ingatan kolektif dunia pun melayang pada masa kelam: The Great Depression.
Efek Domino dari Tarif Trump
Pemicunya kali ini bukan karena spekulasi pasar semata, melainkan kebijakan proteksionisme ekstrem yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pekan lalu. Pemerintah AS menetapkan tarif baru sebesar 10 hingga 46 persen terhadap produk dari berbagai negara. Langkah ini sontak menghantam sektor manufaktur Asia yang selama ini menggantungkan ekspor pada pasar Amerika Serikat—mulai dari tekstil, otomotif, hingga komponen elektronik.
Data penutupan bursa memperlihatkan kepanikan:
Nikkei Jepang: turun 7,8%
ASX 200 Australia: merosot 4,2%
Kospi Korea Selatan: kehilangan 5,6%
Shanghai Composite China: ambruk 7,3%
Indeks saham Taiwan: rontok 9,7%
Hang Seng Hong Kong: anjlok dramatis 12,5%
Di Eropa, sektor perbankan dan pertahanan terpukul paling parah. Para analis memperingatkan bahwa ini bukan lagi koreksi teknikal, melainkan gejala serius dari ketidakstabilan ekonomi global yang mulai mengemuka.
Hantu The Great Depression Menyapa Lagi?
Kondisi ini mengingatkan dunia pada tragedi ekonomi paling kelam dalam sejarah modern: The Great Depression yang dimulai pada 1929. Saat itu, AS mengalami keruntuhan pasar saham yang memicu kemerosotan ekonomi global selama satu dekade. Pengangguran melonjak, produksi industri runtuh, perdagangan internasional menyusut drastis, dan lebih dari setengah lembaga keuangan Amerika bangkrut pada 1933.
Fenomena yang dulu disebut Black Tuesday kini terasa tak terlalu jauh dari kenyataan hari ini. Ketika pelaku pasar kehilangan kepercayaan, aliran dana keluar secara masif, investasi mengering, dan produksi melemah, krisis bisa menyebar bak virus mematikan ke seluruh penjuru dunia.
Dunia di Ambang Resesi Baru?
Pertanyaannya kini: apakah dunia sedang menuju The Great Depression jilid dua? Beberapa elemen sudah menunjukkan kemiripan—proteksionisme ekstrem, disrupsi perdagangan internasional, hingga gelombang sentimen negatif yang memukul kepercayaan pasar. Negara-negara berkembang dengan ketergantungan ekspor yang tinggi bisa menjadi korban pertama dalam domino ekonomi ini.
Sementara itu, pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang rapuh, utang negara yang menumpuk, dan inflasi global yang belum terkendali semakin memperbesar risiko krisis multidimensi.
Haruskah Dunia Belajar dari Roosevelt?
Dunia bisa menarik pelajaran dari respons Presiden Franklin D. Roosevelt pada era The Great Depression. Melalui program ambisius New Deal, ia membalik arah krisis dengan intervensi fiskal besar-besaran: membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan melindungi upah serta harga. Pendekatan Keynesian ini terbukti memulihkan ekonomi Amerika secara perlahan, sekaligus memberi inspirasi bagi banyak negara lain.
Kini, tantangan serupa membentang di hadapan para pemimpin dunia. Pertanyaannya bukan sekadar bagaimana meredam kepanikan pasar, tetapi apakah mereka siap berani mengambil keputusan besar dan taktis untuk mencegah krisis global yang lebih dalam?
Karena seperti sejarah pernah mengajarkan: jika dunia gagal belajar dari masa lalu, maka masa lalu akan kembali dalam bentuk yang lebih menakutkan.