BACA JUGA : Bupati Dadang Supriatna Bagikan Ratusan Sertifikat Halal dan Haki bagi Pelaku IKM Kabupaten Bandung
Salah satu yang mempertanyakan kebijakan tersebut adalah Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Nu’man Abdulhakim. Ia menanyakan apakah tambahan subsidi pupuk tersebut sesuai dengan kebutuhan petani atau tidak. Ia juga mengkhawatirkan adanya potensi kebocoran anggaran subsidi pupuk yang lebih besar.
“Di Jawa Barat, lahan pertanian sudah banyak yang beralih fungsi. Ini berpengaruh pada produksi pangan. Lalu, harga jual gabah padi juga sangat rendah, bahkan lebih murah dari rokok. Kami berpikir, sebaiknya anggaran pupuk bersubsidi dialihkan untuk membeli gabah, agar harga beras tetap terjangkau bagi masyarakat,” kata Nu’man dalam diskusi tersebut.
Selain itu, Pengurus Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Ronnie S Natawidjaja, juga memberikan saran terkait distribusi pupuk bersubsidi. Ia mengatakan bahwa agen pupuk atau sarana produksi pertanian bisa dimanfaatkan untuk membantu mendata kebutuhan pupuk bersubsidi di suatu wilayah.
BACA JUGA : Kasus Bandung Smart City, Majelis Hakim Vonis Dadang Darmawan 4 tahun dan Khairur Rijal 5 tahun
Menurutnya, agen pupuk atau sarana produksi pertanian lebih mengetahui kebutuhan dan waktu tanam petani daripada penyuluh pertanian.
“Agen pupuk atau penjual pupuk bisa memberikan masukan atau bantuan kepada pemerintah dalam menentukan alokasi pupuk bersubsidi. Mereka sudah punya data dan informasi yang akurat tentang petani yang menjadi langganan mereka. Ini bisa mempermudah pekerjaan penyuluh pertanian,” ujar Ronnie.
Ronnie juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki tanah yang sangat subur, sehingga penggunaan pupuk kimia yang bersubsidi harus disesuaikan dengan kondisi tanah. Ia menyarankan agar pemerintah lebih menggalakkan penggunaan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan dan mendukung kemandirian petani.
Sementara itu, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat, Otong Wiranta, mengeluhkan bahwa distribusi pupuk bersubsidi masih sering bermasalah. Ia menyalahkan sistem yang sering berubah-ubah yang diberlakukan oleh pemerintah, sehingga membuat petani bingung.
“Kami sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk bersubsidi. Kadang-kadang alokasi pupuk tidak sesuai dengan data yang ada. Ini karena sistem yang diterapkan pemerintah sering berubah-ubah. Kami berharap ada sistem yang lebih jelas dan konsisten,” keluh Otong.