Oleh : Widi Garibaldi
Apabila tak ada aral melintang, kita akan menentukan siapa pemimpin kita pada hari Rabu tanggal 27 November mendatang. Kita akan menentukan siapa Walikota kita, siapa Bupati kita. Begitu pula siapa Gubernur kita. Momentum ini teramat penting, karena nasib bangsa kita, ada di jari kita sendiri.
Secara khusus kita akan menentukan siapa yang layak memimpin Tatar Sunda ini. Siapa yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi kita, tanpa harus terpikat janji-janji muluk waktu kampanye apalagi jadi korban sasaran serangan fajar.
Jangan lupa, untuk menentukan sang pemimpin, tak kurang dari Rp1,1 triliun uang kita bakal habis terpakai. Bagi mereka yang rajin mengutak-atik angka, uang sebanyak itu diperkirakan bakal setara dengan pembangunan 15.000 ruang kelas baru. Atau mungkin setara dengan pembangunan 150 km jalan baru atau perbaikan 750 km jalan lama. Biaya itu baru untuk Jawa Barat. Bagaimana dengan biaya untuk daerah lainnya, seandainya diakumulasikan se Indonesia ?
Baca Juga: Mochtar Kusumaatmadja Pahlawan Bangsa
Jangan Salah Pilih
Selain membutuhkan biaya yang sangat besar, pemilihan langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekrang, otomatis akan mengantar calon-calon yang popular bukan calon-calon yang berkualitas.
Karena itu kehati-hatian calon pemilih sungguh sangat diharapkan, jangan sampai salah pilih. Apabila hal ini terjadi, nasib bangsa, nasib daerah 5 tahun ke depan menjadi taruhannya.
Bukan hanya karena pembangunan yang terbengkalai tetapi juga kemungkinan kekayaan rakyat yang masuk saku sang pemimpin alias korupsi.
Bagi kita di Jawa Barat, contoh pemimpin yang abai akan amanat rakyat, sudah lebih dari cukup. Ambil sebagai contoh mantan walikota Bekasi Mochtar Muhhammad.
Pada awalnya, warga kota terkagum-kagum, betapa hebatnya prestasi yang diperlihatkan sang Walikota. Ternyata ia tega menggunakan uang rakyat untuk mengelabui mata warganya sendiri.
Betapa tidak ?
Agar dia dianggap sebagai walikota yang berhasil dan dianugrahi piagam Adipura, dia menyuap panitia Adipura Rp500 juta. Agar APBD-nya diterima oleh lembaga Legislatif, ia menyuap anggota DPRD kodya Bekasi, tak kurang dari Rp1,6 miliar.
Tak cukup hanya itu. Agar pemerintahannya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, dia menyuap petugasnya. Akhirnya sang Walikota terpaksa masuk bui selama 6 tahun.
Kabupaten Subang, pemerintahannya ternoda pula dengan ulah sang Bupati yang bernama Eep Hidayat. Ia “mempermainkan” biaya pemungutan pajak (PBB) hingga Rp1,4 miliar. Atas perbuatannya itu Hakim menempatkannya selama 5 tahun di belakang jeruji besi.
Perbuatan yang sama, ternyata terjadi pula di “depan mata”. Di kota Bandung, masih jelas dalam ingatan kita, apa yang dilakukan oleh Walikota Yana Mulyana.
Ia tersandung proyek “Bandung Smart City”. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama 4 tahun di Sukamiskin. Begitu juga dengan mantan walikota Dada Rosada yang menyalahgunakan Bansos.
Di Kabupaten Bandung Barat, mantan Bupati Abubakar meninggalkan cerita tak terpuji. Ia menggalang sejumlah dana untuk pencalonan isterinya pada Pilkada 2018 yang lalu.
Bupati Aa Umbara Sutisna (2018-2023), punya perbuatan yang lebih serius.Ia mempermainkan pengadaan barang tanggap darurat Covid 19 pada Dinas Sosial. Jangan lupa perbuatan seperti ini kalau mengacu pada Pasal 2 UU 31 tahun 1999 bisa diancam hukuman mati.
Jadi, hampir semua kepala daerah di Jawa Barat ini sudah pernah berurusan dengan perbuatan keji yang harus ditabukan oleh para Pemimpin itu.
Tidak terkecuali dengan Provinsi Jawa Barat. Masih ingat mantan Gubernur Danny Setiawan ? Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama 4 tahun karena terbukti melakukan mark-up dana proyek tahun 2009. Nah, hati-hati dan serius. Jangan asal pilih.
Waspadalah!*