KoranMandala.com – Provinsi Jawa Barat kembali mencatatkan deflasi pada Agustus 2024, seperti yang diungkapkan dalam rilis terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat.
Pada bulan tersebut, terjadi deflasi sebesar 0,03 persen secara bulanan, yang menyebabkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 106,09 pada Juli menjadi 106,06 pada Agustus 2024.
Ini merupakan deflasi keempat yang dialami Jawa Barat sepanjang tahun ini, menunjukkan tren penurunan harga yang berkelanjutan.
Baca Juga: Bey Machmudin Lanjutkan Tugas sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat
Meski deflasi pada Agustus tercatat lebih rendah dibandingkan dengan deflasi bulan Juli, situasi ini tetap menjadi perhatian serius. Sebab, bila deflasi terus berulang, risiko terjadinya deflationary spiral—situasi di mana harga terus menurun sehingga menekan konsumsi dan investasi—akan semakin tinggi.
Penyebab Utama Deflasi
Deflasi di Jawa Barat didorong oleh penurunan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Kelompok ini mengalami deflasi sebesar 0,52 persen, dengan kontribusi terhadap deflasi sebesar 0,15 persen.
Penurunan harga pada komoditas-komoditas tertentu, seperti daging ayam ras, telur, serta bawang merah, menjadi faktor kunci penurunan indeks harga pada sektor ini.
Di sisi lain, inflasi terjadi pada beberapa komoditas, seperti bensin dan cabai rawit, dengan sumbangan inflasi sebesar 0,03 persen. Beras dan sigaret kretek mesin juga memberikan kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,1 persen.
Meski demikian, tekanan inflasi dari komoditas-komoditas tersebut tidak cukup kuat untuk mengimbangi penurunan harga pada kelompok lainnya.
Meskipun inflasi secara tahunan (year-on-year) di Jawa Barat tercatat sebesar 2,12 persen, tren deflasi bulanan yang terus berulang mengindikasikan adanya dinamika ekonomi yang perlu diwaspadai.
Risiko Spiral Deflasi
Deflasi yang berulang, seperti yang terjadi di Jawa Barat, dapat berdampak buruk pada perekonomian. Ketika harga-harga terus menurun, konsumen cenderung menunda pembelian karena mereka berharap harga akan turun lebih jauh.
Akibatnya, permintaan barang dan jasa menurun, yang pada akhirnya dapat menyebabkan produsen mengurangi produksi, memotong upah, dan menunda investasi. Jika dibiarkan, hal ini dapat memicu deflationary spiral—sebuah siklus yang memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memantau situasi ini dengan cermat untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas. Stimulus ekonomi yang lebih agresif, baik dari sisi kebijakan fiskal maupun moneter, mungkin diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan mendorong permintaan domestik. (Litbang KoranMandala.com)