OLEH: WIDI GARIBALDI
Pepatah ini sudah lama dikenal. Manakala ada seseorang yang melakukan perbuatan, tapi ia tidak ingin perbuatannya itu diketahui orang lain, maka pepatah itu berlaku baginya. Mengapa ia menyembunyikan tangannya ? Karena ia menyadari bahwa perbuatannya itu tidak baik, merugikan orang lain. Artinya, ia tidak ksatria. Sesungguhnya ia adalah seorang pengecut. Baginya, pepatah “ tangan mencencang bahu memikul” hanyalah sekedar pemanis kata belaka.
Apakah pepatah jaman “baheula’ ini masih ada relevansinya sekarang ? Khususnya dalam menghadapi 14 Februari 2024, pemilu serentak, yang bakal tercatat dengan tinta tebal dalam sejarah kenegaraan dan kebangsaan Indonesia ? Tentu, karena budaya bangsa dengan adatnya yang “tak lekang di panas dan tak lapuk di hujan” itu harus terus dipertahankan khususnya agar kita terhindar dari efek negatif globalisasi.
Menoleh ke belakang, proses Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan contoh betapa dengan kasat mata dapat disaksikan bahwa pepatah itu ternyata sudah dibuang jauh-jauh karena dianggap sudah tak sesuai lagi dengan jaman. Kini, banyak orang berdalih bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu tetap berlaku, walaupun etika diinjak-injak. Inilah “politik”, demi kekuasaan, hukum itu dapat “diatur”.
Komentar Presiden tentang debat Capres yang berlangsung tanggal 7 Januari yang lalu, juga tak bisa dipisahkan dari pepatah lama itu.Presiden yang berkomentar tentang tekhnis penyelenggaraan debat, tentu saja tidak tepat. Ia seharusnya menjelaskan posisinya dalam memberikan komentar itu. Sebagai Presiden atau pribadi. Kalau sebagai Presiden, ia wajib netral. Sebagai pribadi, ia seharusnya mengambil cuti di luar tanggungan negara terlebih dahulu. Begitu peraturannya. Menurut ketentuan Pasal 281 (1) huruf b UU No.7/2017 tentang Pemilu, Presiden yang sedang cuti itu tidak dibenarkan menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan.
PEMILIH YANG CERDAS
Debat calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung sampai 5 kali merupakan kesempatan yang diberikan undang-undang agar kita sebagai pemilih tidak membeli “kucing dalam karung”. Sebelum, tiba hari-H, calon pemilih diberi kesempatan untuk memilah-milah,mana yang “emas” mana yang “loyang”. Para pemilih dapat menilai siapa yang patut diberi kepercayaan untuk memimpin negara yang berpenduduk 287 juta ini. Manakala salah pilih, momentum itu tidak akan datang lagi. Artinya, 5 tahun ke depan kita tinggal menyesali diri,karena salah pilih !
Nah, kecermatan dan ketelitian dibutuhkan ketika kita akan menjatuhkan pilihan pada hari-H, tanggal 14 Februari itu. Jadi, perlu dipertanyakan kalau ada Capres yang mengaku menguasai tanah 500.000 ha (lima ratus ribu hektar), tetapi hal itu tidak perlu dipersoalkan. Alasannya, karena tanah itu berstatus HGU ( Hak Guna Usaha). Jadi, milik negara.
Betul milik negara, tetapi si Capres seharusnya menjelaskan bahwa sertifikat HGU itu dapat dipindahtangankan kepada orang lain. Dan yang lebih penting dan perlu dicermati, sertifikat HGU itu dapat dijadikan angunan ke bank, untuk memperoleh kredit.
Adalah ksatria, manakala sang Capres menjelaskan berapa ratus atau bahkan berapa ribu milyar rupiah, kredit yang diperolehnya dengan mengangunkan tanah milik negara yang luasnya hampir 7 kali luas negara Singapura itu.
Karena itu, jadilah Pemilih yang cerdas. Karena, kalau tidak punya alasan kuat, mana mungkin burung Tempua bersarang rendah. Begitu kata pepatah lainnya***