“Tapi, kan, bisa aja begitu takdirnya. Bisa aja memang takdir yang di gariskan Tuhan kita semua kena korona, Gus.” Gus Mut lagi-lagi tersenyum.
“Nah, sikap kayak gitu namanya sikap putus asa, Fan,” kata Gus Mut.
“Kok bisa?”
“Soalnya kamu memakai takdir untuk menutup-nutupi rasa putus asa. Pakai takdir buat menutupi rasa frustasi. Biar nggak kelihatan seperti orang yang putus asa, atau biar kelihatan religius, kamu mengarahkan kesalahan itu ke takdir, bukan ke kesalahan manusia sendiri.”
“Lah, kalau orang lahir miskin, lalu di tengah kehidupannya bilang bahwa menderita itu adalah takdirnya, apakah itu salah, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya salah,” jawab Gus Mut.
“Kok gitu, Gus?”
“Ya karena fase kehidupannya belum selesai. Bagaimana bisa dia menyimpulkan sesuatu yang belum selesai, Fan? Kehidupannya aja masih berjalan kok,” kata Gus Mut. Lalu lanjutnya, “Sama kayak orang kaya. Merasa yakin bakal kaya selamanya, sampai nggak percaya takdir. Dia pikir, kekayaannya hadir karena kerja kerasnya sendiri. Jadi, kalau orang miskin menyalahkan takdir itu namanya putus asa, lah kalau orang kaya yang nggak mengimani takdir itu namanya takabur,” kata Gus Mut.
Fanshuri bergeming.
“Makanya,” tambah Gus Mut lagi, “fungsi dari mengimani takdir bukan pakai caramu tadi itu, Fan. Kalau kamu lagi seneng dapat rezeki, kamu harus ingat bahwa takdir kehidupanmu belum selesai.
Makanya, kamu di suruh bersyukur. Begitupun kalau kamu lagi susah dan dapat musibah: kamu harus ingat bahwa takdirmu belum kelar, kehidupan masih panjang, masih ada hari esok.”
“Lah wong takdir itu di imani biar kita percaya sama Yang Bikin, kok malah takdir di imani buat nyalahin Yang Bikin,” tutup Gus Mut.