Jumat, 21 Februari 2025 21:12

KoranMandala.com -Kolonialisme menghancurkan seni tari di Indonesia, warisan budaya yang banyak dilakoni wanita dari masyarakat dan kalangan menak.

“Tari Ronggeng dikonotasikan sebagai kesenian rendahan, pemuas hasrat sesaat,” kata Rektor ISBI Bandung 2014-2022, Prof. Dr. Hj. Een Herdiana kepada wartawan, Kamis 20 Februari 2025.

Sarjana Prodi Seni Tari alumni 1992 Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta itu mengatakan Tari Ronggeng adalah induk seni tari di Indonesia.

ISBI Bandung Tak Izinkan Pementasan “Wawancara dengan Mulyono”, Ini Alasan Kampus

Kesenian itu telah ada sejak era animisme, Hindu-Buddha, Islam, penjajahan, hingga Indonesia merdeka dan bertahan sampai saat ini.

Di era kolonialisme, citra Tari Ronggeng yang telah melahirkan banyak cabang seni tari hancur akibat stigma negatif.

“Tari Ronggeng direndahkan,” katanya.

Kemudian muncul Raden Sambas Wirakusumah yang menciptakan Tari Keurseus, tarian khas Jawa Barat yang merupakan kembangan dari Tayuban.

“Agar bisa dipelajari di sekolah, Raden Sambas membuat Tari Keurseus sebagai tarian yang memiliki pakem,” katanya.

Pada era 1920-an, tarian yang dilakukan lelaki sangat digemari, seperti Tari Budaya Wirahmasari ciptaan Raden Sambas.

Pada era kemerdekaan, lahir Raden Tjetje Sumantri, pelopor tari kreasi Sunda yang kembali melibatkan perempuan dalam seni tari.

“Embrio tarinya diciptakan tahun 40-an, tetapi lebih populer setelah Indonesia merdeka,” katanya.

Tari-tarian ciptaan Raden Tjetje Sumantri selalu dipentaskan di Istana Negara dan menarik perhatian Presiden Soekarno.

“Karya-karya Tjetje Sumantri memang untuk wanita karena dulu perempuan Sunda dianggap tabu menari,” katanya.

“Dampak stigma negatif terhadap Tari Ronggeng di era kolonial membuat banyak kalangan menak menolak anaknya menjadi penari,” katanya.

Tarian kreasi Sunda ciptaan Raden Tjetje Sumantri antara lain Tari Sekar Putri, Tari Merak, Tari Kupu-Kupu, dan Tari Sulintang.

“Banyak tari ciptaan Tjetje Sumantri, sehingga para menak ingin anak perempuannya belajar menari, terutama di Istana,” katanya.

Saat itu, masyarakat menganggap tarian ciptaan Tjetje Sumantri sebagai tarian klasik.

“Disebut klasik karena tarian itu berasal dari kalangan menak,” terangnya.

Namun, jika ditelusuri, tarian tersebut sebenarnya berasal dari lingkungan istana.

“Tak perlu membenturkan istilah tarian klasik atau bukan,” ujarnya.

Yang jelas, karya-karya Tjetje Sumantri mengangkat kembali citra penari perempuan di Indonesia.

“Jika ada kunjungan Presiden, tariannya selalu dipentaskan,” katanya.

Setelah era Tjetje Sumantri, muncul Gugum Gumbira Tirasondjaja yang menciptakan Tari Jaipongan.

“Tari Jaipongan berasal dari Ketuk Tilu, seni rakyat Jawa Barat, serta pencak silat,” katanya.

Gugum Gumbira mengubah Tari Jaipongan menjadi seni pertunjukan yang lebih bernilai.

“Akar Jaipongan dari tarian rakyat, tetapi oleh Gugum Gumbira dijadikan seni pertunjukan yang memiliki nilai tinggi,” katanya.

Jaipongan kemudian berkembang luas dan digemari masyarakat karena dianggap sebagai tarian khas budaya rakyat.

“Kolonialisme memang buruk dalam politik, tetapi pada era itu kesenian naik kelas dengan tata panggung dan penonton berkelas,” katanya.




Sumber:

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Penulis
Exit mobile version