KORANMANDALA.COM – Pencanangan sekian ratus desa di wilayah nusantara yang akan dikembangkan menjadi desa wisata di sambut pro dan kontra. Bahkan dengan sikap beragam pula.
“Menyikapi pencanangan desa wisata itu, sejumlah pihak saat ditemui ada yang gagap, ada yang menyatakan siap dan ada pula yang setengah hati,” kata Yusup Oblet seorang musisi kondang sekaligus pemilik Bumi Seni Tarik Kolot di Desa Sukamukti Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Selasa 13 Pebruari 2024
Dari tanggapan beragam baik yang pro maupun yang kontra, sepertinya pihak pemerintah daerah setempat ‘keukeuh’ dan terus mendorong dengan sejumlah alasan.
Itu termasuk soal tersedianya anggaran dari negara yang menggiurkan manakala desa Itu terpilih untuk di kembangkan menjadi desa wisata.
Sementara itu, beberapa desa yang “terpaksa” dan dipaksakan jadi desa wisata membutuhkan sosialisasi yang tidak mudah dengan warga setempat maupun tetangga desa yang dipastikan akan terdampak dengan kehadiran desa wisata tersebut.
Terlebih jika tidak punya dampak positiv yang signifikan.
Sebaliknya bagi desa yang sudah siap, peluang ini menjadi berkah yang ditunggu oleh pihak desa, untuk memaksimalkan apapun potensi di desanya, papar dia.
Pertanyaannya, masihkah di era yang hampir serupa dalam akses informasi desa masih sexy untuk dijual ? Hal apa saja yang masih menarik dari sebuah desa di tengah perubahan warga yang hampir merata dalam cara pandang dan laku hidup yang tidak jauh berbeda dengan warga Kota ?
Seberapa kuat romantisme desa sanggup meyakinkan para investor dan wisatawan untuk menjadikan desa dalam prioritas rekreasinya ?
Fakta menunjukkan bahwa dinamika desa sudah berubah. Hal apa saja yg bisa di tawarkan bagi para wisatawan yang akan berlibur di sebuah desa ?
Sekian pertanyaan lain masih banyak dan harus di petakan untuk memberikan kekuatan atas keputusan penetapan desa wisata di satu daerah.
Jika paparan potensi sebuah desa gagal dipahami dalam konteks keberlangsungan system budaya pada masyarakatnya maka penetapan desa menjadi desa wisata akan rapuh dalam perjalanannya.
Alangkah bijaknya jika para penentu kebijakan di daerah melakukan riset yang mendalam saat mau menetapkan kawasan manapun dalam kategori desa wisata.
Desa yang otentik jauh lebih baik dari pada desa yang artificial di bangun sedemikian rupa untuk pencapaian “Rasa Desa”.
“Bau lumpur baju petani tertentu lebih indah daripada baju petani yang di sewakan untuk pencapaian fotografi atau sekedar di sewa untuk baju selfi,” kata Oblet sapaan akrab musisi Tabuhan Nusantara ini.
“Edukasi msyarakat secara menyeluruh hingga keikutsertaan masyarakat, siap dengan semua partisifasinya di setiap perubahan. Apapun yang akan terjadi sebagai konsekuensi menjadi desa wisata,” kata Yusup oeblet. (Wawan JR)***