KORANMANDALA.COM – Puluhan pengayuh becak (tukang becak) di Kota Yogyakarta sejak kehadiran si Tole angkutan keraton, penghasilannya turun drastis. Namun demi menghidupi keluarga, puluhan tukang becak yang tersebar di sudut-dudut Kota Yogya masih tetap bertahan di tengah persaingan angkutan kendaraan bermotor.
Mas Tarno (59) seorang pengayuh becak pituin Yogya, berkisah tentang perjalanan dan pengalamannya selama ini sebagai tukang becak.
“Kami menjadi tukang becak ini, sejak puluhan tahun silam. Kala itu masih bujangan lalu menikah dan beranak pinak.
Alhamdulillah dari hasil narik becak ini bisa menghidupi istri dan biaya sekolah anak, meskipun hanya sebatas lulusan SMK,” tutur ayah dari dua orang anak ini.
Menjadi tukang becak, sambung Mas Tarno, sejak era tahun 1980 an. Saat itu masih remaja hingga sekarang tidak pernah beralih ke usaha lain. Karena memang ia tidak pernah pindah pekerjaan kecuali mengayuh Becak.
Hasil dari narik becak ini memang relatif, kadang banyak order penumpang dan terkadang sepi penumpang.
Biasanya setiap hari pukul rata dapat Rp 75.000 terkadang bisa Rp 100.000 lebih, tergantung ramai tidaknya penumpang. Ketika musim liburan dan banyak wisatawan yang melancong ke Yogya, penghasilannya bisa lebih dari Rp100 ribu.
Usaha angkutan tradisional becak selama ini mengalami pasang surut dan suka-duka.
“Kami selama dua tahun lebih terdampak pandemi Covid-19, hingga praktis tidak ada orderan penumpang. Di jalanan seputar Yogyakarta sepi pengunjung bahkan wisatawan pun jarang yang melancong ke Yogyakarta,” keluhnya
Namun demikian abang becak itu tetap bertahan dan tetap bersabar menghadapi situasi ini.
“Bagi kami yang penting dari hasil usaha ini bisa beli beras dan biaya sekolah anak,” pungkas Mas Tarno.- ***