KORANMANDALA.COM – Desa/kecamatan Wonoboyo Jawa Timur, seni terbang genjring ini sudah puluhan tahun berjalan.
Seni Genjring mempunyai karakteristik tersendiri dibanding seni rebana lainnya, seperti marawis atau hadrah. Instrumen musik yang dipakai sangat sederhana, hanya beberapa terbang yang pada tepinya terdapat piringan kecil logam, sehingga menghasilkan suara gemrincing.
Tidak ada pelengkap atau peranti musik lainnya semisal bas, kecapi, apalagi orgen sebagaimana yang ada dalam seni rebana modern.
Konon grup-grup seni terbang genjring ini, awalnya kerap tampil dalam berbagai momentum pengajian atau digelar secara bergiliran di rumah anggota jamaah.
Biasanya dirangkai dengan kegitana tahlilan atau mujahadahan. Lalu kerap memeriahkan acara-acara hajatan warga.
Tetapi seiring mulai bermunculannya seni islami yang baru seperti hadroh dan rebana modern sejak tahun 2000-an, warga lebih memilih mengundang model seni rebana atau hadrah tersebut tiap kali mengadakan acara hajatan.
Demikian juga kekhasan lain dijumpai dalam bacaan yang dilantunkan ketika mengiringi irama terbang.
Selain bacaan berupa puji-pujian untuk Allah dan Nabi Muhammad, juga bacaan materi fiqih yang sudah disusun menjadi syair.
Syair fiqih tersebut merupakan gubahan leluhur kiai desa setempat tempo dulu dan masih dibaca sampai sekarang.
Sesepuh Desa Wonoboyo, Suyono (85) mengungkapkan, bahwa dulu saat dia masih muda, penggemar atau yang aktif dalam kegitan seni terbangan ini tidak hanya orang-orang tua saja sebagaimana sekarang, melainkan segenap remaja dan pemuda juga ikut.
Tradisi Seni terbang genjring di Desa Wonoboyo, menurut NU online sudah ada sejak tahun 1940 kala itu masih zaman penjajahan Belanda. (Wawan Hermawan Jr) ***