KORANMANDALA.COM – Pertanian merupakan sektor yang krusial dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, terutama di Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Namun, dalam era modern seperti sekarang, profesi petani seringkali dianggap kurang potensial dan kurang menarik. Padahal, tanpa petani, sulit bagi masyarakat untuk memperoleh bahan makanan yang cukup.
Perkembangan teknologi modern telah mengubah wajah pertanian. Salah satu inovasi yang menonjol adalah indoor farming, yang memungkinkan pertanian dilakukan di dalam ruangan tertutup tanpa harus tergantung pada lahan sawah tradisional yang memerlukan banyak tenaga dan pengawasan manual.
Indoor farming merupakan metode pertanian vertikal yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas secara signifikan. Teknik ini biasanya menggabungkan sistem hidroponik atau aquaponic dengan penggunaan cahaya buatan di dalam rumah kaca. Berbagai model indoor farming seperti hidroponik, aquaponic, dan aeroponic tersedia untuk dipilih sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan pertanian yang diinginkan.
BACA JUGA: 11 Akun FF Gratis Update Hari Ini 13 Juli 2024, No Hackback, Nenagamer, dan Litomplo
Keuntungan utama dari teknik indoor farming adalah kemampuannya untuk meningkatkan produktivitas tanaman tanpa terganggu oleh kondisi cuaca eksternal. Selain itu, sistem ini juga mampu menghasilkan makanan yang bersih dari hama dan tanpa pestisida, serta mengurangi biaya transportasi dan konsumsi bahan bakar fosil yang biasanya terjadi dalam pertanian konvensional.
Selain itu, indoor farming dapat dilakukan di gedung-gedung bertingkat tinggi, memanfaatkan ruang yang ada secara efisien. Hal ini mengurangi risiko gagal panen akibat faktor cuaca, yang seringkali menjadi tantangan dalam pertanian tradisional di lahan terbuka.
Namun demikian, meskipun memiliki banyak keunggulan, teknik indoor farming juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah biaya yang diperlukan untuk membangun dan mengoperasikan sistem ini sangat tinggi karena melibatkan teknologi canggih, perangkat lunak, dan perangkat keras yang mahal.
Selain itu, kontrol suhu, kelembaban, dan cahaya juga memerlukan perhatian tinggi agar sistem pertanian ini dapat berjalan efektif.
Selain itu, kritik terhadap indoor farming juga muncul terkait dengan tingginya produksi CO2 yang dihasilkan dibandingkan dengan pertanian konvensional di lahan terbuka. Meskipun begitu, teknik ini telah berhasil diterapkan dan sukses di negara maju seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang.
Contohnya, Singapura mampu menghasilkan 54 ton sayuran setiap tahunnya melalui indoor farming, sementara di Jepang, lahan seluas 2.300 meter persegi mampu menghasilkan 10.000 pucuk selada setiap hari, atau 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan metode tradisional.
Dengan demikian, meskipun masih menuai perdebatan, teknik indoor farming menunjukkan potensi besar dalam mendukung keberlanjutan dan efisiensi dalam memenuhi kebutuhan pangan global di masa depan.- ***