Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan.
Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh.
Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telinga tadi malam.
Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut.
Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng…
Seperti diceritakan oleh salah satu saksi hidup peristiwa ini, Toyib (71th)
“Suara ‘guntur ’ itu sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah saya Desa Kepakisan,” kata Toyib saat menceritakan kisah desa Lagetang.
Lanjut Toyib dimana pada saat itu usianya baru 11 tahun, mengatakan karena gelapnya malam dan hawa dingin menusuk tulang, membuat warga yang mendengar suara mengejutkan itu tidak berani keluar rumah untuk memeriksanya.