“Jadi ketika pemasukan sudah tidak sebanding dengan pengeluaran, akhirnya manajemen tidak bisa lagi memenuhi biaya operasional. Itu yang menyebabkan Kampung Gajah ini berhenti beroperasi” kata Asep.
Ketika masih beroperasi, Kampung Gajah berhasil memikat banyak wisatawan untuk datang ke sini. Apalagi jika sudah masuk musim liburan sekolah, jumlah pengunjungnya bisa membludak. “Kampung Gajah saat pertama kali beroperasi booming sampai mancanegara dan hal itulah yang menyebabkan pengunjung berbondong-bondong tidak hanya dari Jawa Barat saja tapi se-Indonesia,” tambah Asep.
“Banyak yang mengatakan bahwa Kampung Gajah disita oleh bank, namun tidak demikian. Jika ada investor yang ingin mengoperasikan kembali Kampung Gajah bisa saja, tinggal konfirmasi ke pihak-pihak atau orang yang masih memiliki aset,” lanjut Asep.
Di sisi lain, harga tiket masuk (HTM) yang mahal juga jadi faktor Kampung Gajah perlahan kehilangan daya tariknya. Saat itu, HTM objek wisata Kampung Gajah dibanderol Rp 15.000/orang untuk Senin-Jumat, sedangkan Sabtu, Minggu, dan hari libur di patok Rp 20.000/orang.
Selain itu, pengelola juga menyiapkan paket wisata terusan bagi pengunjung. Wisatawan harus membayar sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu/orang. Setelah membayar tiket terusan, wisatawan bisa menikmati semua wahana yang tersebar di kawasan Kampung Gajah.
Dengan harga tiket masuk sebesar itu, paradigma Kampung Gajah hadir untuk wisatawan kelas menengah ke atas. Maka dari itu, wisatawan yang punya budget terbatas akhirnya memilih berkunjung ke objek wisata lain dengan harga tiket yang lebih terjangkau.
Sekarang, Kampung Gajah lebih mirip kota mati mirisnya lagi, tempat wisata ini jadi dikenal sebagai tempat mistis yang dipenuhi makhluk halus. Tak jarang beberapa YouTuber hingga influencer melakukan aktifitas seperti ‘uji nyali’ di tempat ini.