Rohidin, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Keagamaan UII, membuka diskusi dengan menyoroti kesalahan hakim dalam kasus ini.
Dia menekankan pentingnya kemampuan hakim untuk memutuskan perkara secara tepat dan cepat dalam situasi dilematis.
“Putusan harus berdasarkan pertimbangan kualitatif, bukan kuantitatif, serta mempertimbangkan kemanusiaan dan kemaslahatan demi kepentingan bersama,” tegasnya.
Prof Dr Ridwan, Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH UII, mengungkapkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dan majelis hakim tingkat banding serta kasasi menilai Mardani bersalah karena menandatangani SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 tahun 2011.
Tindakan tersebut dianggap melanggar Pasal 93 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Bingung dengan Keputusan Hakim
Prof Dr Ridwan juga mempertanyakan apakah tindakan Mardani sebagai Bupati dalam mengalihkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara dari PT BKPL ke PT PCN melanggar Pasal 93 ayat 1 UU Minerba.
Dia juga mengkaji apakah peralihan IUP-OP tersebut membutuhkan permohonan yang mencakup syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial.
Menurutnya, semua persyaratan sudah terpenuhi dalam proses peralihan IUP, sehingga tidak ada aturan yang dilanggar.
Sementara itu, Dr Mahrus Ali membahas satu isu hukum yang dieksaminasi, yaitu tuduhan suap atas penerbitan SK Bupati No 296/2011 yang dianggap melanggar Pasal 93 UU No 4 tahun 2009.
Mahrus Ali menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 93 tersebut berlaku untuk pemegang IUP, bukan untuk jabatan Bupati.
Selama syarat dalam Pasal 93 ayat 2 dan 3 terpenuhi, peralihan atau pelimpahan IUP diperbolehkan.
Menurutnya, penerbitan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dari PT BKPL ke PT PCN yang dilakukan oleh Mardani, tidak melanggar aturan.
Dengan mempertimbangkan seluruh fakta persidangan, Mardani Maming seharusnya mendapatkan vonis bebas, nama baiknya dipulihkan, dan ia direhabilitasi.