KoranMandala.com -Pakar Hukum Tata Negara, Abdi Yuhana menyampaikan kekhawatirannya mengenai potensi korupsi dalam program makan bergizi gratis yang direncanakan pemerintah mulai tahun anggaran 2025.
Apalagi baru-baru ini Presiden Prabowo Subianto mengumumkan anggaran makan bergizi gratis dipatok hanya Rp 10 ribu per orang, lebih rendah dari alokasi sebelumnya yakni Rp 15 ribu.
Hal ini ia sampaikan dalam forum diskusi “Alumni Unpad Pro Demokrasi: Fenomena Negara Swasta: Quo Vadis Indonesia, Dalam Pengelolaan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca Jokowi”.
Program Makan Bergizi Gratis Bisa Dongkrak Ekonomi Jabar, Daddy Rohanady Ungkap Kuncinya
Abdi menegaskan bahwa potensi korupsi yang perlu diperhatikan terletak pada proses pengadaan serta penunjukan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan dan distribusi program tersebut.
“Pengelolaan program ini harus dipikirkan dengan matang, terutama hingga ke anak sekolah yang berjumlah lebih dari 50 juta,” ungkapnya kepada wartawan, Rabu 4 Desember 2024.
Ia menyatakan bahwa proses pengadaan barang dan jasa di pemerintah saat ini masih sangat rentan terhadap praktik korupsi, terutama untuk program baru yang dilaksanakan secara masif.
Abdi mencontohkan dugaan korupsi jatah makan atlet pada pelaksaan PON di Aceh September lalu. “Ada dugaan anggaran Rp50 ribu per atlet untuk makan itu disunat jadi Rp30 ribu ketika sampai ke katering,” bebernya.
“Oleh karena itu, dalam program makan siang gratis ini, ada kekhawatiran anggaran Rp 10.000 per anak disunat juga. Pengawasan terhadap potensi korupsi ini sangat penting untuk dilakukan,” tegas Bhima.
Ia menambahkan bahwa untuk mencegah tindak pidana korupsi, pemerintah perlu menyediakan saluran pengaduan langsung bagi masyarakat, agar penyaluran program dapat sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan, yaitu Rp 10.000 per anak.
“Apakah masyarakat dapat melaporkan jika menemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran makan siang yang tidak sesuai dengan anggaran?” tanya Abdi
Abdi mengusulkan agar untuk mengurangi risiko korupsi, pemerintah perlu melaksanakan program ini secara bertahap, dimulai dari tingkat kabupaten yang memiliki indikator angka stunting atau gizi buruk yang tinggi.
“Selanjutnya, perlu dilakukan evaluasi, yang mencakup aspek pengawasan, transparansi anggaran, serta efektivitas program dalam menurunkan angka gizi buruk apakah cukup cuma Rp10 ribu per anak?,” kata Abdi