KORANMANDALA.COM – Analis Politik asal Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menegaskan, upaya mengubah batas minimal usia Capres-Cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan judikasi politik.
Menurut Ginting, unsur politik dalam upaya mengubah batas minimal usia Capres-Cawapres, lebih kental daripada hukum tata negara.
“Unsur politiknya lebih kuat daripada unsur hukum tata negara, karena nuansa kepentingan politiknya sangat tinggi. Itulah judikasi politik, untuk meloloskan seseorang yang terkait dengan elite politik negeri ini,” kata Ginting di Kampus Unas, Jakarta pada Sabtu, 14 Oktober 2023.
Ginting berujuar, urusan batas minimal Capres-Cawapres ada berada pada teritori legislatif dan eksekutif sebagai pembuat undang-undang, bukanlah kewenangan MK.
Baca Juga: Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Sudah Finalisasi, MK Akan Bacakan dalam Sidang Pekan Depan
“Isu politik tempatnya di DPR, bukan dibahas di MK. Permohonan uji materi kasus persyaratan usia capres/cawapres, jelas bernuansa isu politik bukan isu hukum tata negara,” ungkapnya.
Kemudian, hal tersebut diperkuat oleh bukti adanya afiliasi partai politik yang diduga memiliki kepentingan seseorang lolos persyaratan menjadi peserta Pilpres 2024.
“Jadi upaya mengubah persyaratan usia capres/cawapres sarat dengan kepentingan politik praktis dan bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Inilah hukum yang dibungkus dengan aroma kepentingan politik keluarga elite negeri,” ucapnya.
Baca Juga: Eks Mentan Syahrul Berencana Mangkir Lagi Sebelum Ditangkap KPK
Oleh sebab itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut menambahkan, MK bakal mematikan demokrasi di Indonesia.
“Fenomena judikasi politik yang dilakukan MK sama saja dengan mematikan iklim demokrasi di Indonesia,” ujar Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik.
Pada Senin, 16 Oktober 2023, MK akan menjalankan sidang putusan batas usia minimal Capres-Cawapres seperti tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.