KORANMANDALA.COM – Mantan Hakim Agung Prof. Dr. H. Krisna Harahap, SH, MH, akhirnya angkat bicara terkait vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Jakarta Barat kepada Teddy Minahasa.
Seperti diketahui pada Selasa, 9 Mei 2023, Teddy Minahasa dijatuhi vonis penjara seumur hidup akibat kasus narkoba.
Teddy Minahasa dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Menurut Prof Krisna, kasus Teddy Minahasa terkait narkoba ini merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Sehingga, kata dia, hukuman yang harus dijatuhkan kepada Teddy Minahasa bukanlah hukuman yang biasa.
“Jadi kalau bicara mengenai narkoba sebagai extraordinary crime, harusnya hukumnya, ya, yang luar biasa pula,” kata dia saat diwawancara Koran Mandala, Rabu, 10 Mei 2023.
Ia pun mencontohkan perbandingan hukuman di Arab Saudi dengan di Indonesia. Di Arab Saudi, orang yang sudah dinyatakan bersalah dan kasusnya berkaitan dengan narkoba, akan dihukum mati dengan cara dipancung.
Menurut Prof Krisna, hal itu merepresentasikan ketegasan hukum yang telah ditetapkan di negara tersebut.
“Kalau di Arab sudah tegas, oleh ulil amrinya diputuskan demikian (hukuman mati dengan cara dipancung),” kata mantan Hakim Agung selama 17 tahun tersebut.
Maka tidak heran, jika Arab Saudi menjadi negara yang bersih dari narkoba. Sebab, hukuman tegas yang telah ditetapkan akan berpengaruh pada perilaku warga negaranya.
“Di Indonesia sendiri, sebetulnya pasal 114 Ayat 2 Tentang UU Narkotika itu memungkinkan hukuman mati,” ujarnya.
Sebagai aparat penegak hukum dan menjadi terdakwa kasus narkoba, harusnya Teddy Minahasa mendapatkan hukuman yang lebih berat, bukan hanya vonis seumur hidup.
“Paling tidak hukumannya ditambah sepertiga. Karena dia adalah alat negara yang terbukti menjual dan mendapatkan keuntungan dari narkoba. Kalau sesuai Pasal 114 Ayat 2 sudah memungkinkan penjatuhan hukuman mati,” kata dia.
Prof Krisna juga menyoroti raut wajah masyarakat yang datang ke persidangan pembacaan vonis Teddy Minahasa terlihat kecewa.
Sebab, Teddy Minahasa memungkinkan untuk dijatuhi vonis mati karena ada unsur-unsur yang memberatkan. Seperti terdakwa adalah aparat penegak hukum menjabat sebagai kapolda, hingga tidak mengakui semua perbuatan jahatnya.
Meski demikian, bagaimanapun putusan majelis hakim harus tetap dihormati. Sebab ini baru putusan dari Pengadilan Negeri.
“Artinya kalau nanti terdakwaknya tidak menggunakan upaya hukum, barulah putusan itu inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” kata dia.
“Tapi kalau upaya hukum digunakan, putusannya belum pasti dan belum tetap karena bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi,” sambungnya.
Ia pun menyebut jika putusan banding bisa meringankan, bisa juga memberatkan.
“Intinya jangan dilupakan bahwa narkoba sama dengan korupsi dan terorisme. Makanya harusnya hukumannya ekstra. Tidak bisa yang biasa-biasa saja,” kata dia.(*)