OLEH: WIDI GARIBALDI
Ini bukanlah cerita mengenai Paman Sam, julukan yang biasanya diberikan kepada negeri AS itu. Ini adalah cerita soal Paman Anwar, pamannya Gibran Rakabuming Raka yang anak sulung Presiden Jokowi.
Palu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah diketuk. Anwar Usman yang menduduki jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik berat dan peri laku.
Adik ipar Presiden Jokowi itu, telah membentangkan karpet merah untuk keponakannya, Gibran sehingga dapat mengikuti kontestasi pemilihan Calon Wakil Presiden 2024, kendati tak memenuhi sarat, karena umurnya yang belum 40 tahun.
Mengacu Pasal 41 Peraturan Mahkamah Konstitusi No.1 Tahun 2023 pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku berarti dipecat atau diberhentikan dengan tidak hormat. Tetapi tidak demikian untuk Oom Anwar, paman-nya Gibran. Ia tidak dipecat sebagai Hakim pada Mahkamah Konstitusi. Cuma jabatan Ketua MK-nya yang dicopot. Berarti sampai masa pensiun yang akan datang,3 tahun lagi, ia masih tetap dapat menggunakan toga warna merah hitamnya.
Mengapa MKMK yang diketuai Jimmy Asshiddiqie menjatuhkan hukuman hanya pencopotan jabatan Ketua MK saja ? Manakala pemecatan sebagai Hakim MK yang dijatuhkan, berarti hukumannya belum in kracht ( pasti dan tetap). Karena Peraturan Mahkamah Konstitusi itu membuka peluang banding bagi Anwar Usman. Daripada berlarut-larut, jabatan Ketua MK-nya saja yang dicopot. Begitu jalan pikiran MKMK.
Budaya malu
Masyarakat Jepang dikenal dengan budaya malunya. Rasa malu yang menjadi karakteristik masyarakat Jepang menjadikan bangsa itu penuh dedikasi. Daripada menanggung malu, lebih baik mengundurkan diri. Kalau perlu hara kiri.Bunuh diri dengan menggunakan samurai, daripada menanggung malu masih dilakukan hingga kini kendati ritual harakiri itu telah dihapus, sejak 1873 di masa restorasi Meiji.
Nah, kembali ke Paman Anwar. Ia telah dijatuhi hukuman melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan peri kepatutan sebagai Hakim Konstitusi. Bukankah etika jauh lebih tinggi derajadnya daripada hukum ? Dan jangan dilupakan, Paman Anwar bukanlah manusia biasa. Ia adalah seorang Hakim,orang yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat sebagai orang yang mampu menemukan keadilan,bukan hanya mencari. Karena itu ia dianugerahi predikat “Yang Mulia”. Konsekwensinya ia harus mempertanggungjawabkan putusannya bukan saja kepada masyarakat dan hukum, tetapi juga kepada Sang Pencipta.
Keistimewaan Paman Anwar, bukan hanya karena tampangnya yang berewokan, tetapi karena dia juga adalah Hakim istimewa. Ia terpilih dari 278 juta manusia Indonesia menjadi 1 dari 9 Hakim Konstitusi. Artinya dipundaknya ada tugas berat mengawal Konstitusi RI yang menjadi fundamental norm bangsa ini.
Pelanggaran berat yang dijatuhkan kepadanya berarti dia telah melakukan penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya. Ia telah berhianat bukan lagi terhadap hukum biasa tetapi sekali gus kepada Konstitusi, kepada UUD RI.
Karena itu banyak orang berpendapat, tidak perlu harakiri, tapi mengundurkan diri sudah pantas dilakukannya.
Kalau harapan tersebut tak akan pernah terkabul, itu disebabkan Paman Anwar dengan pongahnya berpendapat EGP alias emangnya gue pikirin…?
o0o