“Mengingat keadaan yang sangat mendesak (penetapan Capres-CaWapres tanggal 13 Nov.2023) diperkirakan gugatan terhadap Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 belum akan dapat diputus karena proses memeriksa dan mengadili yang cukup lama, maka Anggota Majelis Kehormatan MK, Prof. Jimly Asshiddiqie memperkirakan, putusan itu baru akan berlaku untuk Pemilu 2029,” kata Prof Krisna saat dihubungi Koran Mandala pada Minggu, 12 November 2023.
Gibran, Kode Etik, dan Elektabilitas
Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden, meskipun berbekal putusan MK, memunculkan pertanyaan terkait kode etik.
Baca Juga : Langgar Etik Berat, MKMK Resmi Berhentikan Anwar Usman Sebagai Ketua MK
Apakah keputusan ini akan berdampak signifikan pada elektabilitasnya? Ya tentu saja.
“Baginya, “tiket” sudah ada di tangan, kendati diperoleh dengan melanggar kepatutan Bukankah putusan MK itu bersifat final & binding (terakhir,tidak ada upaya banding) serta ‘erga omnes’, artinya siapapun harus tunduk dan melaksanakannya, (kan)?” kata Prof. Krisna.
‘Emang Gue Pikirin’ Bung Hatta
Meski dihadapkan pada pertimbangan etika dan kepemimpinan, perbandingan dengan Bung Hatta menunjukkan perbedaan signifikan.
Baca Juga : PAMAN ANWAR, EGP ?
Gibran Rakabuming Raka dan Anwar Usman, meskipun memiliki hubungan keluarga yang erat dengan Presiden, perlu menunjukkan kesediaan untuk tunduk pada prinsip-prinsip etika dan hukum tanpa melibatkan kepentingan pribadi.
“Tetapi, Paman Anwar (0om-nya Gibran) dan Gibran Rakabuming Raka yang anak sulung Presiden Jokowi “jauh panggang dari api” bila dibandingkan dengan Bung Hatta. Di benak mereka pasti terlintas “bisikan” EGP atau “emangnya gue pikirin?” Bukankah tak sembarang orang bisa jadi anggota MK apalagi jadi Wapres kalau tidak kebetulan jadi ipar dan anak Presiden?” pungkas Prof Krisna.