“Perlu diingat bahwa dalam konteks ini, terdapat minimal dua elemen biologis yang terlibat, yaitu nyamuk dan bakteri Wolbachia. Keduanya secara alami akan mengalami perubahan hidup di lingkungan alam, termasuk fenomena mutasi,” ungkapnya pada Senin, 20 November 2023.
Menurutnya, pendekatan ini berbeda dengan pengendalian menggunakan bahan kimia.
“Ketika terjadi perubahan akibat pemberian bahan kimia, kita dapat langsung menghentikan pemberiannya. Tetapi pada bahan biologis, apakah kita bisa menghentikannya dengan segera? Meskipun mutasi tidak selalu berdampak negatif,” tambahnya.
Prof. Nidom berpendapat bahwa Kementerian Kesehatan RI perlu melakukan pemantauan riset dalam jangka waktu yang panjang. Jika terdapat risiko yang muncul akibat mutasi, pemerintah harus memiliki antisipasi yang telah disiapkan.
“Meskipun teknologi ini dapat diaplikasikan dan hasil riset menunjukkan efektivitasnya dalam mengendalikan nyamuk serta menurunkan kasus demam berdarah dengue, pemantauan jangka panjang tetap diperlukan sebagai langkah darurat, jika risiko yang tiba-tiba muncul, pemerintah telah menyiapkan antisipasinya,” lanjutnya.
Contohnya, jika muncul pola mutasi tertentu pada nyamuk, baik alami maupun yang diinfeksi Wolbachia. Selain itu, ia menyoroti bahwa nyamuk Aedes spp tidak hanya dapat membawa virus DB, tetapi juga virus lain seperti Japanese Encephalitis, Zika, dan virus-virus lainnya (Vectorborne viruses).
Oleh karena itu, perlu memastikan bahwa penggunaan wolbachia tidak menghasilkan dampak yang tidak diinginkan seperti munculnya wabah virus-virus lainnya.
Prof. Nidom menyarankan pembentukan tim khusus yang fokus pada pemantauan potensi risiko dalam program wolbachia. Selain itu, terkait produksi telur nyamuk, ia menekankan perlunya membuka kriteria laboratorium biosafety dan biosecurity secara transparan.
“Dalam perkembangan teknologi kesehatan, analisis dan tindakan terhadap risiko yang mungkin muncul perlu dilakukan secara bersamaan,” tambahnya.- ***
Dari berbagai sumber