1. Cawe cawe Presiden Jokowi, dari pernyataan dan tindakan Presiden Jokowi sendiri, dan hal demikian melanggar prinsip pemilu presiden yang LUBER, Jujur dan Adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1);
2. Melalui Putusan 90 dan beberapa Putusan MK sesudahnya, meskipun secara hukum positif tidak ada lagi persoalan dengan pencawapresan Gibran, namun pelanggaran prinsip anti KKN, khususnya nepotiseme relasi cawapres Gibran dengan presiden Jokwi melanggar prinsip Pemilu yang dijamin UUD 1945 dan menjadi pelanggaran konstitusi yang intolerable, dan menjadi kemenangan yang harus dibatalkan demi menjaga marwah dan kehormatan konstitusi.
3. Karena yang dapat dibuktikan hanya pelanggaran konstitusi cawe cawe Presiden Jokowi dan nepotisme cawapres Gibran Rakabuming Raka, sedangkan pelanggaran pasangannya Prabowo Subianto, dianggap Mahkamah tidak dapat dibuktikan, maka kemenangan Capres Prabowo tetap dikuatkan oleh Mahkamah. Tentu dengan komplikasi, bahwa suara Paslon 02 tentunya adalah hasil kerja keduanya sebagai pasangan calon.
Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis.
BACA JUGA: Mahkamah Konstitusi Kangkangi DPR, Pengamat Khawatir Terjadi Hal Mengerikan
Bagi kekuatan politik yang diam-diam menolak dilantiknya cawapres Gibran dengan berbagai alasan, opsi ke empat ini menjadi bagian dari solusi. Karena Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari bagi MPR untuk memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024.
Opsi mana yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah ada kejutan? Menurut Denny tidak akan ada. “Saya prediksi, MK belum punya dukungan bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu: Menolak seluruh permohonan dan hanya memberikan catatan perbaikan dan pelaksanaan Pilpres 2024. ***