KoranMandala.com – Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur hingga menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti, merupakan contoh dari femisida.
Demikian disampaikan Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Mamik Sri Supatmi.
Mamik menilai bahwa apa yang dialami oleh Dini, merupakan bentuk penyiksaan yang berujung pada pembunuhan dan layak disebut sebagai femisida.
“Femisida tidak bisa dipandang sama dengan kasus pembunuhan biasa karena terdapat dimensi kebencian terhadap perempuan, di mana korban dibunuh atau disiksa sampai mati” kata Mamik dalam acara ‘Quo Vadis Negara Hukum: Perempuan Berbicara’ di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024 silam.
Apa sih femisida itu ? Femisida adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembunuhan terhadap perempuan atau anak perempuan secara sengaja karena mereka adalah perempuan.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh feminis Inggris, Diana E.H. Russell, pada tahun 1976, untuk menyoroti kekerasan ekstrem yang dialami oleh perempuan yang didorong oleh ketidaksetaraan gender, kekuasaan patriarki, dan misogini.
Femisida berbeda dari pembunuhan pada umumnya karena termotivasi oleh kebencian terhadap perempuan, serta oleh dinamika kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat patriarkal.
Bentuk-bentuk femisida termasuk pembunuhan oleh pasangan atau mantan pasangan, pembunuhan kehormatan, pembunuhan dalam konteks perdagangan manusia atau prostitusi, serta pembunuhan karena identitas gender.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam lingkup pribadi tetapi juga diakui sebagai masalah struktural yang mencerminkan ketidakadilan sistemik terhadap perempuan di banyak negara.
Sebagai contoh, tingkat femisida yang tinggi di negara-negara seperti Meksiko dan El Salvador sering kali terkait dengan kekerasan geng, korupsi, dan kurangnya perlindungan hukum bagi perempuan.
Dalam banyak kasus, femisida tidak hanya melibatkan tindakan kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikologis, ekonomi, dan seksual yang berlangsung lama sebelum pembunuhan terjadi.
Selain itu, pelaku sering kali mendapatkan impunitas atau hukuman yang ringan, yang menambah keparahan masalah ini.
Gerakan feminis global telah menyoroti femisida sebagai isu hak asasi manusia yang mendesak. Banyak negara telah merespons dengan mengesahkan undang-undang khusus untuk mengkriminalisasi femisida dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.
Namun, meski ada kemajuan hukum, tantangan tetap ada dalam mengatasi akar masalah seperti stereotip gender, ketimpangan sosial, dan kurangnya akses keadilan.- ***