KoranMandala.com – Di luar jendela yang tertutup debu garam, ombak menerjang pasir hitam. Tiga nelayan berkumpul di Pātea Boating Club, hanya beberapa ratus meter dari pantai selatan Taranaki, Selandia Baru.
Steve Corrigan, ketua klub, mengatakan bahwa teluk South Taranaki adalah salah satu daerah pemancingan terbaik di negara itu, tetapi ia khawatir teluk tersebut terancam hancur.
Selain kaya akan spesies ikan, teluk ini juga menjadi rumah bagi terumbu karang dan paus biru pigmi Selandia Baru, serta dikunjungi oleh spesies terancam punah seperti lumba-lumba Māui.
Selama 11 tahun terakhir, dasar laut di kawasan ini telah menjadi titik sengketa antara perusahaan tambang dan warga setempat.
Sejak 2013, Trans-Tasman Resources (TTR) telah mencoba mendapatkan izin untuk menambang pasir besi dari laut, yang kaya akan mineral berharga yang digunakan dalam berbagai industri, termasuk energi terbarukan.
Mereka berencana menambang hingga 50 juta ton pasir per tahun selama 35 tahun.
Namun, masyarakat setempat khawatir penambangan ini akan merusak lingkungan laut dan kehidupan di sekitarnya, sehingga mereka melakukan perlawanan hukum.
Meskipun TTR gagal mendapatkan izin melalui pengadilan, mereka masih berusaha melanjutkan proyek ini.
Masyarakat Taranaki, yang umumnya mendukung bisnis, bersatu melawan proyek ini karena kekhawatiran akan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan.
Kelompok-kelompok seperti Kiwis Against Seabed Mining, dan organisasi lingkungan lainnya terus menolak penambangan ini.
Mereka menekankan bahwa belum ada bukti yang cukup untuk menjamin bahwa lingkungan akan terlindungi dari aktivitas penambangan.
Sementara itu, pemerintah yang pro-pertambangan sedang mendorong undang-undang yang dapat mempercepat persetujuan proyek-proyek pertambangan, yang menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan oposisi.
Mereka khawatir bahwa perubahan hukum ini akan menyingkirkan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan memperburuk dampak lingkungan di wilayah Taranaki.- ***