KoranMandala.com -Pakar Filologi Universitas Padjadjaran, Dr. Elis Suryani, memaparkan konsep kepemimpinan Kerajaan Sunda dalam manuskrip kuno. Konsep Trias Politika, yang dipopulerkan di Eropa abad ke-18, sudah ada di Kerajaan Sunda abad ke-16.
Manuskrip “Siksa Kandang Karesian” menggambarkan pembagian kekuasaan dalam tiga jabatan utama: Sang Prabu, Sang Rama, dan Sang Resi.
Sang Prabu melambangkan eksekutif, bijaksana, tegas, dan tidak menerima suap dalam memimpin pemerintahan.
Kerajaan Sunda Bertahan 10 Abad: Argumen Membangun Jawa Barat Harus Berlandaskan Jati Diri Sunda
Sang Rama, setara legislatif, harus adil dan mewakili rakyat tanpa intervensi dari lembaga lain. Sang Resi, setara yudikatif, bertugas menyelesaikan perselisihan secara adil dan membawa kesejukan bagi masyarakat.
Fragmen “Carita Parahiyangan” juga mengungkap pembagian kekuasaan yang sama, memperkuat sejarah Trias Politika Sunda.
Sejarah Konsep Trias Politika
Konsep Trias Politika pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Perancis, Montesquieu, dalam bukunya The Spirit of Laws (1748).
Montesquieu menggagas pembagian kekuasaan menjadi tiga lembaga utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam sistem ini, legislatif membuat undang-undang, eksekutif melaksanakan, dan yudikatif mengadili pelanggaran hukum.
Trias Politika menjadi fondasi bagi sistem demokrasi modern di banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Namun, Dr. Elis Suryani menegaskan bahwa konsep serupa telah ada di Kerajaan Sunda pada abad ke-15.
“Kerajaan Sunda lebih dulu menerapkan Trias Politika dibandingkan negara-negara Eropa,” tegas Dr. Elis Suryani.
Pembagian kekuasaan dalam manuskrip Sunda mencerminkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam pemerintahan.