KoranMandala.com – Perubahan iklim telah menjadi ancaman global yang serius, terutama disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Gas-gas ini dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan kegiatan pertanian. Untuk merespons krisis ini, negara-negara di dunia telah berkomitmen mengurangi emisi melalui perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris, yang ditandatangani oleh 196 negara, bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C pada tahun 2030. Salah satu mekanisme yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah perdagangan karbon.
“Perdagangan karbon adalah instrumen yang efektif untuk membantu negara dan perusahaan mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujar Abdullah Rasyid, Direktur Sabang Merauke Institute, kepada wartawan, Kamis (5/9).
Baca Juga: FAO Khawatir Harga Pisang di Dunia Naik akibat Perubahan Iklim
Mekanisme ini memungkinkan negara atau perusahaan yang memiliki emisi lebih rendah dari batas yang ditetapkan untuk menjual kelebihan kuota emisinya kepada pihak yang melebihi batas tersebut. Dalam hal ini, ada dua jenis mekanisme perdagangan karbon, yaitu Perdagangan Emisi (cap and trade) dan Offset Emisi.
Dalam Perdagangan Emisi, pemerintah menetapkan batas maksimal emisi dan mengalokasikan izin emisi kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaan berhasil mengurangi emisinya di bawah batas tersebut, mereka dapat menjual izin emisinya kepada perusahaan lain yang tidak dapat menekan emisi mereka.
Hal ini menciptakan insentif bagi perusahaan untuk menekan emisi mereka serendah mungkin. Sementara itu, melalui Offset Emisi, perusahaan dapat membeli kredit karbon dari proyek-proyek yang membantu mengurangi atau menyerap emisi, seperti proyek reboisasi atau pengembangan energi terbarukan.
Indonesia sendiri telah mengadopsi mekanisme perdagangan karbon sebagai bagian dari upaya mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC) yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. “Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030,” tambah Abdullah Rasyid.
Tidak hanya membantu menurunkan emisi, perdagangan karbon juga mendorong inovasi dan investasi dalam teknologi hijau. Menurut Abdullah, perdagangan karbon memungkinkan pasar untuk mendorong perubahan industri menuju proses yang lebih ramah lingkungan, sekaligus menjadi solusi yang hemat biaya untuk mengurangi emisi karbon.
Sebagai instrumen penting dalam mitigasi perubahan iklim, perdagangan karbon terus berkembang dan menjadi bagian dari strategi global menuju pembangunan berkelanjutan. Dengan mengizinkan kekuatan pasar bekerja, mekanisme ini memberikan peluang besar untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.
Perubahan ini diharapkan tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang lebih inklusif.