Pengundian nomor urut pasangan calon, menandai dimulainya kontestasi Pilkada 2024 serentak yang digelar di 37 provinsi dan 508 kabupayen/kota di seluruh Nusantara.
Para calon itu, dengan lantang tentu akan memanfaatkan masa kampanye yang telah ditetapkan dengan seruan: “Pilihlah aku !”. Semua calon, Gubernur atau Wakil, Bupati/Wakil, Walikota/Wakil pasti akan menyebut dirinya “kecap nomor satu”, karena memang tidak ada yang mau menamakan dirinya sebagai kecap nomor dua.
Apakah mereka benar kecap nomor satu atau hanya nomor dua, terpulang maklum kepada para pemilih. Di Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten/kota jumlah pemilih itu tak kurang dari 35,9 juta. Mereka dapat menggunakan 73.862 bilik pemungutan suara yang disediakan.
Popularitas Farhan Tertinggi, NasDem Mantapkan Strategi Pemenangan Pilwalkot Bandung
Pemilih yang cerdas terlebih dahulu tentu akan menilik “isi otak” calon pilihannya. Siapa tahu cuma “ngeres” doang.
Ketelitian ini menjadi sangat penting karena siapa yang dipilihnya akan menentukan nasib Daerah, Bangsa dan Negara 5 tahun ke depan. Salah pilih, negara akan merana, bertolak belakang dengan sang Pemimpin yang dipilih, hidup makmur karena memang tak pernah memikirkan nasib yang memilihnya.
Kendatipun falsafah negara kita telah menentukan bahwa negara kita ini dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan dan oleh Konstitusi, yakni Pasal 18 ayat (4) ditetapkan dengan pemilihan secara demokratis, akan tetapi kita menemukan ketentuan yang bertolak belakang dalam undang-undang pelaksanaannya. Ayat 5 Pasal 24 UU No.32/2004 menyatakan dengan tegas bahwa pemilihan itu dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Ketentuan ini membuka lebar kemungkinan bahwa mereka yang populer di mata dan hati pemilih, besar kemungkinan akan memperoleh kepercayaan dari para pemilih. Siapapun yang karena profesinya “setiap menit lalu lalang di layar kaca” diperkirakan akan dekat di hati pemilih dan mendapat kepercayaan dari mereka.
Popularitas Bukan Elektabilitas
Mereka yang kebetulan tidak punya akses “setiap menit” dapat memanfaatkan “layar kaca” biasanya akan menggunakan jurus-jurus yang sudah amat sering dipraktikkan dalam pemilihan-pemilihan yang lalu. Mereka akan melakukan “serangan fajar”. Pagi-pagi sebelum ke bilik pemilihan, rumah para pemilih telah didatangi anggota tim sukses sambil menyodorkan amplop berisi uang atau bantuan sosial.
Semakin tebal isi amplopnya semakin besar kemungkinan bahwa nomor urut sang calon akan jadi pilihan untuk ditusuk. Di sini berlakulah kebiasaan para calon pemilih yang mengajukan pertanyaan “wani piro” ? Atau, suara calon pemilih ditentukan oleh NPWP. Bukan Nomor Penetapan Wajib Pajak. NPWP di sini merupakan plesetan dari “ nomor piro wani piro” !
Jelaslah, ketentuan pemlihan langsung itu akan membawa efek negatif bagi negara yang calon pemilihnya tidak mementingkan persyaratan elektabilitas bagi mereka yang akan dipilih untuk menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan. Prestasi, rekam jejak, integritas dan sebagainya tak lagi menjadi takaran yang harus diperhitungkan. Bagi partai-partai politik, yang menyodorkan calon pemimpin, filter tersebut tidak lagi dijadikan sebagai suatu persyaratan karena yang menjadi ukuran adalah, apakah calon yang disodorkan cukup popular di mata pemilih sehingga yang bersangkutan dapat diperkirakan memenangi kontestasi ?
Karena itu, tidaklah mengherankan kalau nama-nama yang disodorkan oleh partai-partai politik itu ada juga yang telah pernah menghianati amanat rakyat, misalnya korupsi.
Mengingat nasib Daerah,Bangsa dan Negara ada di ujung jari para pemilih maka sebelum menjatuhkan pilihan, waktu yang hanya beberapa menit itu harus kita gunakan penuh dengan tanggung jawab. Jangan silau janji-janji kampanye.
Ingat, suara kita, menentukan nasib bangsa!*