Oleh: Widi Garibaldi
Kendatipun Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita, UUD NRI Tahun 1945 secara gamblang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, tidaklah berarti bahwa hukum otomatis menjadi panglima di negeri ini. Itulah sebabnya mengapa judul tulisan ini masih dilengkapi tanda tanya.
Dulu, masa Orde Lama, sebelum amandemen konstitusi dilakukan, politik dijadikan panglima. Segala persoalan negara diselesaikan secara politis. Termasuk pemberantasan korupsi yang sejak dulu merajalela. Kebenaran menurut hukum, bukan jaminan penyelesaian masalah manakala tidak memenuhi kepentingan politik penguasa. Panitia Retooling Aparatur Negara dan Lembaga Pembenahan Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi (PARAN)/Operasi Budhi yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution, akhirnya tak berkutik. Dibubarkan. Tuduhan korupsi yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman Mr. Djody Gondokusumo dan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdoelgani, menguap di tengah jalan.
Di masa Orde Baru, kepentingan ekonomi menjadi acuan utama. Artinya, Ekonomilah yang menjadi Panglima. Tetapi bukan demi perekonomian negara melainkan kepentingan ekonomi Penguasa. Apa yang terjadi di Pertamina, BULOG (Badan Urusan Logistik), PN Telekomunikasi, membuktikan bahwa Lembaga-lembaga untuk memberantas korupsi yang dibentuk oleh Presiden Suharto itu hanyalah sekedar untuk meredam gejolak masyarakat terutama mahasiswa yang mulai bergerak. Lembaga-lembaga yang dimaksudkan untuk memberantas korupsi kemudian dibubarkan tanpa alasan yang jelas dan Ibnu Sutowo sebagai Direktur Pertamina melenggang dari Perusahaan negara itu dengan meninggalkan utang tak kurang dari US $ 4 milyar.
Hukum sebagai Panglima
Khusus di bidang pemberantasan korupsi yang dari masa ke masa tak pernah dilakukan dengan daria oleh pemerintah yang lalu, nampaknya akan ditangani sungguh-sungguh oleh Prabowo selaku kepala pemerintahan RI yang baru saja dilantik. Paling tidak, kesan itu nampak dari pidatonya yang berapi-api. Sebagai seorang mantan militer, ia berseru akan “mengejar” koruptor walau sampai Antartika. Ia berjanji akan menyiapkan anggaran khusus untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Tekad itu diucapkannya karena menyadari banyaknya kebocoran, penyelewengan dan korupsi yang terjadi di negeri ini. KKN di antara pejabat politik, pejabat pemerintah terjadi di semua tingkatan. Hal ini menurut Presiden RI ke-8 itu sangat membahayakan masa depan kita. Masa depan anak cucu kita.
Agar janji-janjinya itu menjadi kenyataan, baru-baru ini ia telah memboyong seluruh pembantunya ke Akademi Militer Magelang dalam suatu kegiatan retreat. Tidak diketahui apakah setelah beberapa hari di Lembah Tidar itu para pembantunya akan memulai rutinitasnya sebagai pembantu Presiden dengan jiwa yang lebih bersih dan tekad yang lebih kuat untuk memberantas korupsi di lingkungan masing-masing. Mungkin akan lebih efektif manakala Prabowo membawa para pembantunya itu berkunjung ke Hotel Prodeo Sukamiskin. Di sana mereka dapat menyaksikan dan mendengarkan pengalaman para Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati dan Walikota yang direnggut kebebasannya karena menggerogoti uang rakyat. Tujuannya tentu saja agar para Pembantu Prabowo itu tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.
Dalam hitungan 100 hari ke depan, rakyat tentu berharap dapat menyaksikan realita pidato-pidatonya sebagai Presiden yang antara lain akan melaksanakan hukum secara tegas dan keras.
Memang rakyat sudah lama menanti, hukum benar-benar dijadikan Panglima