Oleh: Eddy Iriawan
Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 sebagai sebuah Visi besar tampaknya bukan angan-angan belaka. Prabowo memulainya dengan momentum retret yang dilaksanakan di Akademi Magelang. Melalui retret ini, Prabowo menguatkan sinergi kepemimpinan sebagai elemen mendasar yang tidak hanya menyatukan gagasan dan kebijakan, tetapi juga mempercepat pencapaian tujuan jangka panjang menuju kemajuan bangsa. Sinergi antara kementerian memungkinkan kebijakan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan rakyat, menghadirkan pendekatan yang lebih inklusif dan berakar pada realitas lapangan. Ini memastikan bahwa visi besar seperti Indonesia Emas 2045 bukan hanya sekadar aspirasi, melainkan sebuah terstruktur yang dijalankan dengan harmonisasi lintas sektor.
Melalui dialog intensif dalam retret ini, Prabowo diyakini mampumengatasi salah satu kendala utama berjalannya sebuah roda kepemimpinan, yakni hambatan komunikasi di antara kementerian/kabinet pemerintahan yang sedang dinahkodai. Hambatan komunikasi ini mungkin dianggap sepele, namun dapat menjadi kerikil yang mengganjal tercapainya visi besar tersebut. Hal ini dikarenakan tidak duduknya persepsi di antara kementerian. Retret ini diyakini mampu menjadi ruang untuk menyelaraskan strategi dan menegaskan pentingnya kolaborasi dalam setiap kebijakan yang diarahkan pada satu tujuan besar tersebut. Di dalamnya, para pemimpin memiliki kesempatan bersama untuk merumuskan solusi konkret secara lebih cepat dan adaptif terhadap perubahan yang diperlukan, sembari memastikan bahwa kebijakan nasional tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif, strategis dan kolaboratif.
Untuk memastikan keberhasilan dalam membangun sinergi kepemimpinan yang kolaboratif tersebut tentunya Prabowo akan menghadapi beberapa tantangan. Pertama, Kompleksitas birokrasi.
Birokrasi yang kompleks dan berlapis-lapis sering kali menjadi penghambat dalam pelaksanaan program kerja yang cepat dan efisien. Hambatan birokrasi ini bisa mengakibatkan koordinasi yang lambat, serta kesulitan dalam memobilisasi sumber daya di berbagai kementerian. Belum lagi Ego Sektoral kepemimpinan di setiap kementerian yang kuat, yang terkadang menghambat kolaborasi tersebut.
Ego sektoral dapat menciptakan persaingan tidak sehat antar-kementerian, sehingga mengakibatkan lemahnya koordinasi dan menguatn kepentingan. Belum lagi intrik politik melalui tekanan dari berbagai kepentingan yang ada, yang tak jarang pula bisa memengaruhi independensi kementerian dalam menjalankan tugasnya. Tantangan ini menyebabkan kebijakan inkonsisten atau kompromi yang menghambat pencapaian tujuan kolaboratif tersebut.
Kompleksitas birokrasi, ego sektoral, dan intrik politik kepentingan di atas tampaknya sudah diprediksi oleh Prabowo Subianto, sehingga menjadi penting untuk membangun Sinergi kepemimpinan antara presiden dan antar kementerian guna memastikan kelancaran dan keberhasilan program kerja pemerintahan. Dengan kepemimpinan yang terkoordinasi, visi dan misi presiden dapat diterjemahkan menjadi kebijakan serta tindakan nyata di berbagai sektor melalui peran masing-masing kementerian. Sinergi ini menciptakan penyelarasan dalam prioritas dan langkah-langkah implementasi, sehingga setiap program kerja memiliki arah yang jelas dan berkesinambungan di seluruh level pemerintahan.
Kerja sama yang kuat antara presiden dan kementerian juga mempercepat proses pengambilan keputusan, meningkatkan efektivitas koordinasi antar lembaga, dan meminimalkan tumpang tindih kebijakan yang sering menyebabkan inefisiensi. Sinergi yang kolaboratif antar kementerian ini memastikan bahwa kebijakan dapat diterapkan secara konsisten dari pusat hingga ke daerah, menjamin hasil yang terukur dan nyata bagi masyarakat.
Selain itu, komunikasi yang terbuka dan kolaborasi antara presiden dan kementerian menciptakan iklim kerja yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap tantangan atau perubahan, sehingga memungkinkan adaptasi kebijakan yang cepat dan tepat. Dengan sinergi kepemimpinan yang efektif ini pula setiap kementerian tidak hanya menjalankan tugas sektoralnya, tetapi juga berkontribusi pada pencapaian visi besar pemerintahan, menjadikan program kerja lebih mudah dicapai, berdaya guna, dan berdampak langsung pada kemajuan bangsa.
Pada prosesnya tentu kepemimpinan Prabowo diiringi dengan berbagai tantangan dan masalah, namun hal ini dapat dikendalikan melalui kepemimpinan yang visioner dan inklusif dari presiden, serta adanya komitmen dari setiap kementerian untuk berfokus pada tujuan bersama. Melalui Retret ini dapat dilihat upaya Prabowo dalam mewujudkan hal tersebut, dengan membangun iklim dan budaya kerja yang akuntabel, sehingga menjamin bahwa semua pihak tetap konsisten dalam upaya “kolektif” menuju Indonesia Emas 2045.
Dengan langkah-langkah ini, retret berfungsi sebagai platform strategis untuk mengembangkan komunikasi yang kolaboratif dengan lebih erat, sehingga menjadikan visi Indonesia Maju sebagai agenda kerja bersama yang terarah dan tentunya berkelanjutan. Sebagai penutup, Melalui diskusi mendalam dan evaluasi bersama, retret ini tidak hanya menjadi sarana untuk menyatukan pandangan dan tujuan di antara para pemimpin, tetapi juga memperkuat koordinasi dalam menghadapi berbagai tantangan nasional yang pasti menghampiri.
Dengan mengedepankan iklim komunikasi yang terbuka dalam “keseharian” retret ini, Prabowo mengupayakan adanya “bonding” di antara para Menteri, sehingga kolaborasi dan sinergi yang terbentuk bukan hanya sekadar fondasi bagi pencapaian tujuan jangka pendek, tetapi juga landasan kuat bagi transformasi jangka panjang yang akan membawa Indonesia menuju masa depan yang maju, sejahtera, dan berdaya saing, sesuai dengan Asta Cita sebagai realisasi Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045
Penulis adalah kandidat doktor Ilmu Komunikasi FISIP USU