Oleh: Widi Garibaldi
Dalam hitungan hari, kita akan segera menentukan pemimpin untuk 5 tahun mendatang. Tanggal 27 November ini rakyat Indonesia mendapat kesempatan untuk menentukan pemimpinnya. Gubernur di 37 daerah provinsi. Juga 415 bupati untuk memimpin daerah kabupaten. Untuk menjadi orang nomor satu di 93 kota, kita akan memilih dan menentukan siapa di antara para calon yang pantas untuk menjadi Walikota.
Khusus di Tatar Sunda, pada waktu yang sama kita akan menentukan siapa yang layak diberi kepercayaan untuk menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota di 27 daerah Kabupaten/Kota.
Dapat dipastikan bahwa seluruh calon, Gubernur-Bupati atau Walikota pasti mengumbar janji di masa kampanye. Seribu satu macam janji muluk dilontarkan. Mulai dari bakal menyusutnya pengangguran karena lapangan kerja yang terbuka lebar. Harga sandang pangan yang terjangkau karena pertumbuhan ekonomi yang menanjak. Di tingkat kota, lalu lintas serta merta menjadi lancar. Kota akan bersih karena sampah pasti tidak akan menumpuk karena segera diangkut. Pokoknya, setiap calon pemilih disuguhi janji bahwa apapun yang mereka impikan akan segera menjadi kenyataan manakala memilih calon yang bersangkutan. Itulah yang dinamakan janji kampanye !
Tak Mungkin Dituntut/Digugat
Kita sebagai Pemilih harus menyadari bahwa janji janji kampanye itu manakala kosong melompong,tak mungkin dituntut. Tak mungkin dimintai pertanggungjawabannya di depan Meja Hijau. Soalnya, janji janji kampanye itu tak memenuhi unsur-unsur melanggar hukum maupun melawan hukum. Para calon memahami benar masalah ini. Karena itu mereka leluasa, tak perlu merasa takut dan segan untuk mengumbar janji kendati mereka menyadari benar bahwa tak mungkin memenuhi janji-janji yang terlontar dari mulut atau yang tertulis di baliho.
Menghadapi kenyataan tersebut, kewaspadaan para pemilih sangat dibutuhkan. Mana janji yang berisi, mana janji yang setara dengan “omdo”, omong doang. Selain janji-janji kosong ini, perlu pula diwaspadai apa yang dinamakan “efek ekor jas”, atau coat tail effect. Calon, katakanlah Gubernur atau Bupati maupun Walikota yang menyadari bahwa kemampuannya yang tak seberapa tetapi hasrat menang menggebu gebu, memanfaatkan popularitas orang lain agar dapat mendongkrak popularitasnya sendiri. Contoh nyata, terjadi di Jawa Tengah dan DKI. Mantan Presiden Jokowi turun gunung, ikut kampanye terbuka mendampingi Luthfi/Taj Yasin, cagub/cawagub Jateng. Cagub DKI Ridwan Kamil, lapor dan minta restu Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi. Kepopuleran mantan Presiden Jokowi dan Presiden ke-8 Prabowo dimanfaatkan dengan harapan mata para pemilih menjadi silau. Di daerah lain, kepopuleran seorang artis, presenter, pelawak dan sebagainya dimanfaatkan untuk mengatrol kepopuleran sang calon.
Pemanfaatan “efek ekor jas” membuktikan betapa pentingnya jari para pemilih. Jari yang akan menentukan siapa yang bakal jadi pemimpin 5 tahun ke-depan. Apakah orang yang kita jadikan pemimpin, benar-benar amanah atau hanya sekedar badut yang berlagak jadi pemimpin. Karena itu, Jari Pemilih tak dapat dinilai dengan sekantong bansos atau lembaran uang yang dikenal sebagai serangan fajar.
Ingat, salah pilih mengakibatkan penyesalan selalu. Asal pilih, mengakibatkan dosa kepada anak cucu