Oleh: Widi Garibaldi
Sebulan telah berlalu. Sejak dilantik sebagai Presiden 20 Oktober silam, pemerintahan baru pimpinan Prabowo belum menunjukkan gebrakan mayakinkan. Sekembali dari lawatan luar negeri yang gegap gempita, ia memimpin sidang kabinet pertama dengan puja puji kepada para Menterinya. Tentu saja tak lupa khusus kepada wakilnya, Wapres Gibran.
Di balik puja puji atas kekompakan para menterinya, langkah-langkah yang diambil Prabowo sebagai Presiden justru menimbulkan silang sengketa di masyarakat. Ambil saja sebagai contoh, nilai makan siang bergizi untuk anak-anak sekolah. Setelah mengutak-atik APBN, Presiden menetapkan Rp10.000.- per porsi, padahal sebelumnya sudah didengungkan angka Rp15.000.- Tak dapat dihindari tanggapan miring dari masyarakat. Begitu juga dengan rencana kenaikan gaji guru ASN dan honorer, justru menimbulkan salah persepsi, karena belum lama berselang mereka telah menerima tunjangan profesi.
Hadapi ekspektasi yang tinggi
Pidato-pidato yang disampaikan oleh Prabowo sebagai Presiden baru RI, benar-benar menimbulkan asa perbaikan terhadap keadaan yang diwariskan oleh pemerintahan lama, pemerintahan Jokowi. Masyarakat menduga bahwa Prabowo yang “sudah selesai dengan dirinya” akan segera membuat gebrakan-gebrakan yang sudah lama dinantikan oleh masyarakat. Kalau kunjungan Paus Fransiskus yang penuh kesederhanaan awal September yang lalu sama sekali tak ditauladani oleh pemerintahan Jokowi diharapkan oleh masyarakat akan menjadi panutan bagi Prabowo dan pembantu-pembantunya. Kenyataan menunjukkan harapan tinggal harapan. Dengan kasat mata, masyarakat melihat tingkah polah para pembantunya yang “setali tiga uang” dengan pemerintahan lama. Deru motor pengawal diiringi lengkingan sirene yang meraung raung masih saja menjadi santapan bagi pemakai jalan. Baru-baru ini, kendaraan RI-26 merasa harus diistimewakan di tengah-tengah kemacetan lalu lintas Jakarta yang tentunya juga dialami oleh pemakai jalan lainnya.
Kesederhanaan yang seharusnya menjadi bagian dari ketauladanan yang dapat dipetik oleh masyarakat itu, sama sekali tak mampu diberikan oleh pemimpinnya yang masih berpegang erat pada “falsafah aji mumpung”. Keadaan demikain tentu saja tak dapat diharapkan menjadi cikal bakal, modal utama pemberantasan korupsi yang pada tanggal 9 Desember ini akan diperingati sebagai Hari Anti Korupsi sedunia.Kita tentu akan memperingati hari penting itu secara seremonial belaka,harapan menjadi negeri yang bersih dari korupsi, menjadi hampa belaka.
Manakala keadaan berlarut, tak mampu diperbaiki oleh Prabowo yang sarat dengan beban harapan masyarakat, negeri tercinta ini tentu saja akan semakin terpuruk. Tidaklah mengherankan kalau negeri jiran akan memanfaatkannya untuk menarik para pemuda kita yang penuh talenta dengan iming-iming gaji dan fasilitas menggiurkan. Tak pelak lagi, akan terjadi brain drain. Mereka yang berbakat, mereka yang punya IQ tinggi akan menanggalkan kewarganegaraan RInya, berganti warga negara asing.
Akan halnya RI yang kita cintai ini akan menjadi negeri yang semakin terpuruk menjadi bagian negara termiskin di Asia Tenggara mendampingi Myanmar,Timor Leste,Laos,Kamboja,dan Filipina.
Semoga jauh panggang dari api